"Han?"
Sebuah suara yang telah lama Johan nantikan itu, kini kembali terdengar. Perlahan ia membalikan badan, kedua matanya mengerjap, memastikan bahwa gadis yang di depannya itu nyata. Bukan ilusi buatan Johan semata.
Johan berjalan mendekat, semakin jelas pengelihatan pada Sovia yang berdiri tepat dihadapannya.
"Sov, ini elo?"
Sovia tampak berantakan. Kedua matanya sembab, juga rambut yang tak terikat penuh oleh karet, sehingga anak rambutnya terlihat menutupi sebagian wajahnya dikarenakan angin yang menerpa. Cardigan rajut yang ia gunakan hanya menggantung sebelah di pundak, sedangkan sisi lainnya berada di lengan. Hal tersebut sangat menggambarkan bahwa ia sedang tak baik- baik saja.
Johan menatap Sovia lumayan lama, menebak apa yang sebenarnya terjadi sehingga membuat penampilan gadis itu berantakan begini. Tak kunjung menemukan jawaban, akhirnya ia menyudahi prasangkanya dan menanyakan langsung.
"Lo dari mana aja sih, hah?"
Bibir Sovia kelu, tidak ada satu kata pun yang keluar sebagai jawaban. Apakah berhadapan dengan Johan di situasi seperti ini membuatnya mendadak bisu?
"Lo ngilang kemana, sampai-sampai jadi gembel gini? Lo mau bikin gue malu di depan keluarga gue? Lo sengaja bikin gue— eh...."
Sovia tak tahan lagi menahan desakan dalam hatinya, ia lepaskan agar semua bisa reda. Gadis itu sangat terpukul dengan ucapan Johan yang seolah tidak bisa memahami keadaan.
Isak tangis secara mendadak tersebut membuat Johan bingung. Hal apa yang membuat gadis itu menangis? Bukankah ia sudah biasa mengucap kata kasar padanya?
Johan masih tak merasa bersalah, rasa kesalnya tak kunjung hilang. Cowok itu terlihat santai, bahkan di lubuk hatinya menganggap tangisan Sovia hanyalah tangisan perlindungan diri.
"Kakek...." napas Sovia tercekat, digantikan oleh isak tangisnya.
"Kakek gue barusan dimakamkan...." ungkap gadis itu jujur. "Tapi lo malah marah-marah gini? Dimana hati nurani lo, Han?" lanjutnya walau dada kian sesak.
Johan tertegun, merutuki diri sendiri yang tidak pernah bisa menjaga ucapannya pada siapapun dalam keadaan apapun, terutama pada Sovia saat ini. Ia hanya mengerjap menatap Sovia, tak tahu harus berbuat apa saat gadis itu menunduk menangis.
"G–gue...."
Kalimat Johan seketika menggantung saat Sovia mengangkat kepala, mengusap air mata yang jatuh itu secara kasar. "Gue bodoh ya, Han? Ninggalin hape gitu aja di kamar, nggak kasih kabar ke siapapun dan bikin lo punya pikiran gue mau permaluin lo?" Sovia menarik napas, berusaha tetap kuat. "Gue buru-buru balik ke Jakarta buat apa, kalau sikap lo gini?"
Johan semakin terpojok, tak ada hal lain yang pantas ia ucapkan kecuali permintaan maaf. Cowok itu menipiskan bibir, menyiratkan perdamaian.
"Gue nggak tau apa yang terjadi sama lo sebelumnya." Johan sangat menyesal. "Tapi gue minta maaf udah bikin hati lo terluka sama perkataan gue tadi. Gue nggak akan paksa lo lagi buat datang ke acara itu, kok." Johan mendekat, secara tiba-tiba mengusap kepala Sovia dengan tulus. "Lo masuk sana, istirahat. Pasti capek banget, kan?"
Perlakuan Johan yang lembut dan ucapan maaf itu membuat Sovia merasa tak ada yang perlu disalahkan atas kejadian ini. Ia salah karena ceroboh, pun Johan sudah mengakui sendiri bahwa perkataannya sudah melukai hatinya. Permasalahannya ini selesai, sebelum sesaat suara nada dering ponsel Johan menyadarkan semuanya.
Johan menerogoh ponsel di saku celana, melihat siapa penelepon itu.
"Siapa?" tanya Sovia penasaran namun hanya berani ia ucap dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
1004 Days With Johan
FanfictionBerawal dari tragedi kecil di bar malam itu, yang mana bisa saja akan membuat image Sovia hancur jika seseorang buka mulut. Ia tidak pernah menyangka akan menghabiskan masa putih abu-abunya bersama cowok ngeselin dan mageran seperti Johan. Apalagi c...