Hari kian gelap, tidak terasa sudah dua jam lamanya Sovia berada di rumahnya. Johan sedikit membuka pintu kamar, mengintip dua gadis yang tengah berbincang entah membahas apa di ruang tengah sana. Terdengar seru, sampai-sampai Sovia tertawa di setiap perkataan Jihan.
Johan kini membuka pintu agak lebar, untuk mengurangi rasa curiganya. Namun, hanya tawa Sovia yang bisa dia dengar, sementara suara yang adik kini malah memelan.
"Jangan-jangan Jihan ngomongin aib gue lagi," duga Johan dengan curiga. "Kampret tuh bocah, nggak bisa dibiarin nih."
Cowok itu memilih keluar kamar, bergabung dengan Sovia dan Jihan di sana. Saat kedatangannya, tawa dari dua gadis itu terpaksa terhenti. Membuat Johan semakin yakin kalau mereka berdua tengah membicarakannya.
Johan berdeham kecil. "Rumah gue nggak menerima penginapan ya," sindirnya yang ia tujukan pada Sovia yang sedang menatapnya.
"Siapa juga yang mau nginap," balas Sovia.
"Yaudah pulang sana, tuh pintu keluar!" tunjuk Johan ke jam dua, mengarah pada pintu.
"Abang galak banget deh, jadi cowok. Nggak ada lembut-lembutnya," komentar Jihan setelah beberapa saat diam.
Johan mendengus. "Tamunya aja yang gatau waktu."
"Ya kan bisa ngomong baik-baik."
Sovia menepuk pundak Jihan, agar berhenti berdebat. "Udah, Ji. Emang ini udah malam banget, kakak pamit ya," ucap Sovia lalu berdiri.
"Baru juga jam tujuh kak."
"Kapan-kapan kalau ada waktu kakak mampir, ini juga kakak ada janji sama temen."
Dih, palingan juga mau dugem lagi, batin Johan.
"Oh gitu, janji ya kak. Nanti main lagi."
Sovia tersenyum, lalu mengangguk. Tangannya terulur lalu mengelus rambut panjang Jihan sebagai ucapan selamat tinggal. Saat ia melewati Johan, cowok itu tampak memalingkan wajah, membuat Sovia yang tadinya ingin pamitan, namun ia urungkan karena sikap cowok itu yang terkesan tidak peduli.
Melihat Sovia sudah hilang dari jangkauan mata, Jihan menatap abangnya yang masih diam tak ada pergerakan.
"Abang kenapa masih di sini?" tanya Jihan.
"Lah, emang kamu nyuruh abang kemana?"
"Abang nggak ada niatan buat nganter Kak Sovia pulang?"
Johan menggeleng. "Dia udah sering keluar malam, udah bisa jaga diri."
Jihan menghela napas, mendumel entah apa itu. Gadis itu berdiri, mendorong Johan agar keluar. Sang abang yang menerima perlakuan seperti itu pun segera memberontak.
"APA SIH, DEK!"
"Bang, dari tadi abang belum bilang makasih, loh! Kalau bukan karena Kak Sovia, aku mungkin masih di jalanan sekarang. Itu juga karena abang, yang lupa jemput aku." Jihan melipat tangan di depan dada, melirik tajam ke arah abangnya. "Untung aja aku belum bilang ke mama soal ini, soal kemarin juga yang abang bau asap rokok."
"Heeee..." respon Johan tak terima.
"Udah deh, abang nurut aja sama aku. Nanti semua bakalan kejaga."
"Yakin?" tanya Johan dengan sebelah alis naik.
Jihan mengangguk. "Udah sana samperin Kak Sovianya."
"Sekarang banget?"
Gadis itu kini berdecak. "Ya terus maunya kapan?"
Johan merapatkan bibir, berjalan malas menuju garasi samping rumah untuk menemui Sovia. Ia lihat dari jauh, tampaknya gadis itu sedang kesusahan menghidupkan motornya. Terlihat dari gerak-geriknya yang tengah celingukan seperti ingin minta tolong. Cowok itu cukup lama memperhatikan Sovia yang berulang kali mengecek sesuatu di bawah jok motor.
KAMU SEDANG MEMBACA
1004 Days With Johan
FanficBerawal dari tragedi kecil di bar malam itu, yang mana bisa saja akan membuat image Sovia hancur jika seseorang buka mulut. Ia tidak pernah menyangka akan menghabiskan masa putih abu-abunya bersama cowok ngeselin dan mageran seperti Johan. Apalagi c...