Sumpah. Jika bukan karena uang saku, Johan tidak mungkin memaksakan diri untuk masuk sekolah disaat merasa tidak enak badan seperti ini. Sepulang dari kost Sovia, cowok itu langsung masuk kamar, tidak mempedulikan Jihan tantrum akibat kelalaiannya tentang susu kotak pesannya.
Tidur sepanjang malam tidak membuat badan Johan membaik paginya. Badannya terasa sakit, hidung mampet, juga kepala terasa pusing, bukankah itu menandakan bahwa Johan sedang tidak baik?
Dari tadi cowok itu menenggelamkan kepalanya di atas meja, sama tidak tertarik dengan penjelasan fisika di depan kelas sana. Kepalanya terasa berat hanya sekadar diangkat, bagaimana bisa dipakai untuk berpikir?
"Jadi, kita kalikan saja tiga dengan enam. Maka akan terjawab berapa kecepatan yang dicari," jelas Bu Atik menulis jawaban di papan. Wanita itu menelusuri segala penjuru kelas, mata dibalik kacamata itu menangkap seorang murid langganannya yang sedari tadi tidak memperhatikan.
"Johan Yunanda, berapakah jumlah kecepatan yang dicari di soal nomer tujuh?" tanya Bu Atik sambil berjalan mendekat.
Joseph mendadak panik sendiri. Mengguncang tubuh Johan, namun cowok itu hanya mengerang kecil tanda tak mau diganggu.
"Delapan belas, Han," bisik Joseph semakin panik saat Bu Atik sudah di depan meja mereka.
"Apa sih, Sep?" Johan dengan suara berat mengangkat kepala.
"Lagi-lagi kamu tidur di jam saya, Johan! Ini sudah ke berapa kalinya?!"
Johan menggosok hidung. "Aduh, bu, maaf. Kali ini saya beneran sakit."
"Alasan kamu." Bu Atik menempelkan punggung tangannya ke dahi Johan, terasa panas. "Kalau sakit istirahat di UKS, jangan tidur di sini."
Hidung Johan terasa gatal, hingga cowok itu bersin sebanyak tiga kali. "Badan saya lemes Bu, nggak kuat jalan ke UKS. Kalaupun ke UKS—" Johan bersin lagi. "Paling saya nggak betah, ranjangnya keras."
Bu Atik merapatkan bibir. "Joseph, antar Johan ke UKS. Segera kembali setelah itu."
Joseph langsung menganggukkan cepat, meraih dan meletakkan tangan Johan di pundaknya. Lagian, Joseph juga kesenangan bisa keluar, berada di kelas membuat kepalanya terasa mendidih karena soal fisika. "Permisi bu," pamitnya sebelum meninggalkan kelas.
Sementara itu, si ketua kelas itu hanya menatap kepergian Johan dan Joseph begitu saja. Entah kenapa ada perasaan bersalah hinggap pada dirinya. Tapi jika dipikir sekali lagi, ini bukan murni kesalahannya.
"Gue juga udah suruh neduh, dia aja yang nekat nerobos. Sekarang jadi sakit, kan?" batin Sovia sambil menyalin tulisan dari papan.
"Ah, gue kan nggak minta!" decaknya membanting pensil lalu menopang dagu kesal. Membuat Bonita di sebelahnya menoleh.
Bonita menoleh karena terkejut. "Hah?"
"Lupain," balas Sovia bersiap menulis lagi.
Bonita melihat ke arah pintu, tampak Bu Atik sedang berbincang dengan guru kelas sebelah. "Ada apa sih?"
"Itu, Johan sakit gara-gara gue," gumam Sovia.
Bonita mengernyit. "Kok gara-gara lo?"
"Udahlah, nanti aja."
Sovia menghela napas, lalu menyugar rambut ke belakang dan lanjut menulis lagi. Membiarkan Bonita penasaran dengan pertanyaannya sendiri.
•••
Kini Sovia berada di kantin, tengah menyeruput es teh manis ditemani Bonita yang sedang menuang saus pada bakso miliknya. Gadis itu melirik Sovia yang sibuk dengan ponselnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
1004 Days With Johan
FanfictionBerawal dari tragedi kecil di bar malam itu, yang mana bisa saja akan membuat image Sovia hancur jika seseorang buka mulut. Ia tidak pernah menyangka akan menghabiskan masa putih abu-abunya bersama cowok ngeselin dan mageran seperti Johan. Apalagi c...