06

620 58 0
                                    

"Tuan sedang mencari siapa?" tanya security yang baru lewat di depan Jaehyun dan Mark.

"Saya nyari Johnny, daritadi saya nekan bel mansionnya, gak ada yang buka pintu," jawab Jaehyun.

"Ah ... Tuan Johnny dan keluarganya sudah menjual mansion ini dua hari sebelum keberangkatan mereka. Sepertinya Tuan Johnny dan keluarganya akan pergi jauh. Tuan muda Haechan dan dua saudara tirinya tadi masing-masing membawa koper. Tuan Johnny dan Nyonya Hana juga bawa koper," jelas sang security.

Jaehyun kaget, lebih-lebih Mark yang juga tak kalah kagetnya dari sang ayah.

"Pe ... Pergi?" tanya Mark.

Sang security mengangguk sebagai jawaban.

"Ah ... Baiklah kalau begitu, Pak. Terima kasih," ucap Jaehyun sambil sedikit meremas pundak putranya yang tampak lesu.

Sang security mengangguk, lalu izin pergi.

Dengan lemas Mark berjalan masuk mobil sang papa, sedangkan Jaehyun masih tak habis pikir akan apa yang terjadi hari ini.

"Papa, Echan kemana? Kenapa harus membawa koper?" tanya Mark pada Jaehyun.

"Papa juga gak tahu, Son," jawab Jaehyun, sekilas dia melirik ke arah Mark yang tampak lesu.

"Apa Paman Johnny nggak bilang sama Papa, mereka ingin kemana?" tanya Mark pelan.

"Nggak. Papa sama Paman Johnny gak pernah sedikitpun berkabar hari ini," jawab Jaehyun.

Mark menghela napas panjang, lalu menatap kado berwarna biru muda dengan corak hati berwarna merah muda yang ada di tangannya.

"Kamu kenapa pergi ninggalin aku, Haechan? Aku bawa kado khusus buat kamu di hari ulang tahunmu. Kenapa kamu pergi tanpa pamit dan kabar?" tanya Mark di dalam hati.

Mark tersentak karena Jaehyun tiba-tiba menepuk pundaknya.

"Papa daritadi manggil kamu, Mark. Kamu kenapa diam? Gak dengar Papa?" tanya Jaehyun heran.

Mark hanya menggeleng lemah sebagai jawaban, tetapi Jaehyun paham akan apa yang ada di pikiran sang anak, dia hanya bisa diam dan fokus menyetir.

Mau bagaimanapun dia tak tahu cara mengembalikan Haechan. Dia saja tak tahu dimana Johnny membawa keluarganya.

•••••

Seminggu berlalu dengan cukup cepat, keluarga Jaehyun sekarang tengah berkumpul di meja makan dan sudah siap sedia untuk sarapan sebelum memulai aktifitas mereka.

"Kamu makan dulu ya," pinta Rose lembut pada Mark.

"Apa ada telepon dari Haechan?" tanya Mark pelan.

Rose menggeleng lemah.

"Tidak! Aku tidak akan makan sebelum Haechan ada kabar!" tolak Mark tegas.

"Sayang ... Kamu cuma makan satu kali sehari, lebihnya kamu cuma makan keripik. Lihat ... Badan kamu udah mulai kurus banget, Sayang," khawatir Rose.

Iya, semenjak kepergian Haechan, Mark jarang makan dan hanya makan makanan ringan saja. Orang tua mana yang tak khawatir melihat pola makan anaknya yang tak sehat.

"Aku bilang, aku tak mau, Ma!" marah Mark.

"Mark! Turunkan nada suaramu!" peringat Jaehyun.

Mark mendengkus kesal, lalu berjalan pergi tanpa menyentuh sedikitpun sarapan paginya.

Jaehyun menghela napas kasar sambil memijat kepalanya yang terasa pusing.

"Aish! Anak itu!" keluh Jaehyun.

"Johnny sebenarnya kemana, sih?! Pergi gak bilang-bilang, udah seminggu gak berkabar!" kesal Rose.

"Aku gak tahu, Sayang. Aku bah5 udah nyewa detektif buat cari keberadaan Johnny sama Haechan. Tapi, tetap aja mereka gak dapat kabar," jawab Jaehyun putus asa.

"Mereka kayak hilang ditelan bumi," keluhnya.

Rose memicingkan matanya, lalu tak lama dia menatap sang suami dengan serius.

"Apa semuanya udah direncanain sama Johnny?" tanya Rose pelan.

•••••

Di dalam mansion Taeil dan keluarganya, sang kepala keluarga tengah memarahi seseorang yang tengah dia telepon.

"Saya gak mau tahu! Cari mereka sampai dapat!"

"Saya udah bayar kamu dengan bayaran yang cukup tinggi! Jangan kerja nggak becus kayak gini!"

"Udah seminggu lebih dan anda masih belum dapat informasi sedikitpun!"

"Saya gak mau tahu, kalian harus nemuin Johnny dan keluarganya!"

Dengan emosi Taeil menutup panggilan teleponnya secara sepihak.

"Sayang ... Jangan marah-marah kayak gitu. Kontrol emosi kamu," ucap Yeri menenangkan Taeil.

"Gimana gak pusing sih, Sayang. Johnny bawa keponakan aku tanpa berkabar sama sekali. Aku khawatir! Mereka kayak hilang ditelan bumi!" keluh Taeil.

"Jisung gak mau makan karena nungguin kabar Haechan. Makan sih ... Tapi gak seberapa," sedih Yeri.

"Si twins?" tanya Taeil.

"Zhenle gak mau makan, kalau Chenle makan juga kok," jawab Yeri.

Taeil menghela nafas panjang.

Chenle tak sengaja mendengarkan percakapan Yeri dan juga Taeil, lalu dengan segera dia menghampiri kakaknya yang berada di kamar yang memang sudah dibuat khusus untuk mereka berdua.

"Bang, makan dulu lah. Kalau Abang gak makan, nanti Abang sakit," pinta Chenle.

Chenle juga merasa tak enak pada Taeil dan Yeri kalau nanti kembarannya sakit dan malah membuat paman dan bibi mereka itu kerepotan.

"Gak mau sebelum Kak Haechan ke sini," tolak Zhenle.

"Abang bisa berpikir dewasa gak, sih?! Kalau Abang sakit, Paman Taeil sama Tante Yeri yang bakalan repot. Abang lupa kalau kita lagi di mansion Paman Taeil?!" tanya Chenle kesal.

"Diam, Chenle! Tahu apa kamu tentang perasaanku?!" tanya Zhenle marah.

"Aku dan kamu kembar. Kita kembar dan aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan!" jawab Chenle.

"Tidak selamanya, Chenle!"

"Andai aku tahu kalau Papa bakalan berubah setelah menikah-"

"Aku gak akan mau Nerima Nenek lampir itu jadi Mama kita!"

"Seandainya waktu bisa diputar, aku akan memaksa Kak Haechan ikut dengan kita walau dia menolak sampai nangis darah!"

Zhenle menangis, sedangkan Chenle terdiam tanpa merespon ucapan sang kembaran.

- 🤍🤍🤍 -

Im Not Antagonist | MarkHyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang