18

549 49 4
                                    

📍UKS

"I ... Injun ... Beneran kalau dia tadi itu Chenle?" tanya Haechan sesegukan.

Pemuda itu tak kuasa menahan air matanya yang terus mengalir tanpa henti.

Rasa senang sekaligus rasa sedih menjalar di dalam hatinya. Dia berharap agar pria tadi benar-benar adik kandungnya yang selama ini hilang bertahun-tahun lamanya.

"Iya. Emang benar kalau itu tadi Chenle."

Renjun membenarkan.

"Kenapa lo tiba-tiba nangis kayak gitu? Ada apa?" tanya Renjun.

"Apa benar kalau mereka bertiga itu sahabatan. Mark, Chenle dan Zhenle?" tanya Haechan.

Renjun menganggukkan kepalanya membenarkan.

"Sebenarnya bukan mereka bertiga doang, sih. Mereka berteman lima orang selama ini-" Renjun menjeda ucapannya.

"Mark Lee, Park Jisung, si Twins Zhenle dan Chenle. Satu lagi yang cewek yang suka nempel banget sama Mark, Giselle namanya," lanjut Renjun.

Semakin keras tangisan Haechan setelah mendengarkan penjelasan terakhir Renjun. Dia tak menyangka kalau dia akan bertemu dengan keluarganya. Bahkan, dia tak menyangka kalau ternyata dia satu sekolah dengan keluarganya.

"Hiks! Mereka, Injun! Mereka alasan gue ngambil tawaran pertukaran pelajar ini. Mereka keluarga gue yang selama ini gue cari, Njun!" jujur Haechan.

Renjun seketika membulatkan matanya dengan lebar saat mendengarkan jawaban jujur yang keluar dari mulut teman barunya itu.

"Me ... Mereka-"

"Iya! Mereka keluarga gue yang selama ini pisah sama gue, Njun! Gue pisah sama mereka karena Ayah gue yang secara tiba-tiba bawa gue ke New York bareng keluarga tiri gue!" potong Haechan.

Renjun ikut menangis saat mendengarkan penjelasan Haechan. Entah mengapa dia juga merasa terharu, seakan-akan dia yang lama tak bertemu keluarganya dan malah bertemu sekarang.

"Sekarang anter gue ke kelas Mark! Gue mau ketemu sama dia, Njun!" senang Haechan.

Renjun dengan senang hati mengantar sang teman menuju kelas Mark. Mereka berdua berjalan dengan begitu heboh dengan perasaan senang tak tertandingi.

Saat mereka sudah sampai di depan kelas Mark, mereka berdua mematung. Lebih-lebih Haechan yang bahkan sekarang terdiam dengan jantung berdetak tak karuan. Bukan! Bukan karena senang, melainkan rasa syok dan juga rasa takut yang melanda tiba-tiba.

"I ... Ini beneran kamu, Chan?!"

Haechan bisa mendengar dengan jelas suara bergetar milik Mark di dalam kelasnya.

Haechan menatap sosok yang kini tengah mendapatkan sapuan hangat pada pipinya dari Mark.

"Iya. Ini aku, Mark. Haechan kamu," jawab sosok itu meyakinkan Mark.

"Ha ... Hakkum?!" seru Haechan.

Pandangan Mark dan Hakkum yang sekarang seakan-akan menjadi Haechan langsung beralih menatap ke arah Haechan dan Renjun.

Hakkum tersenyum menyeringai saat melihat kehadiran saudara tirinya.

"Hiks!"

Hakkum tiba-tiba menangis.

"Mark! Hiks! Di ... Dia Hakkum! Dia yang bikin Echan menderita, Mark! Dia Hakkum!" teriak Hakkum histeris sambil menunjuk Haechan.

Renjun dan Haechan kaget saat mendengarkan pernyataan Hakkum.

"Enggak, Mark! Ini aku! Ini aku, Haechan kamu!" seru Haechan dengan

Mark tertawa sinis.

"Hakkum ... Hakkum ... Lo kenapa sejahat ini, sih? Kenapa ngaku Haechan dan malah nyakitin Haechan selama Haechan jauh dari jangkauan gue?! HA?! Udah cukup lo misahin Haechan kami dari kami, Hakkum! Cukup!" marah Mark.

Hakkum semakin mengeratkan pegangannya pada ujung baju Mark. Drama tangisannya masih berlanjut tanpa niatan untuk berhenti.

Mark memeluk Hakkum erat.

"Mark! Ini aku, Haechan!" frustasi Haechan.

"Haechan?!"

Mark tertawa geli.

"Yang gue peluk ini Haechan! Bukan lo yang Haechan! Buktinya, gantungan kunci gue semasa kecil sama Haechan ada sama dia. Lo mana punya?" tanya Mark sinis.

Hakkum mengangkat gantungan kunci itu sambil diam-diam tersenyum sinis ke arah Haechan.

Haechan kaget karena gantungan kuncinya ada pada Hakkum.

Saat Haechan hendak merebut gantungan kunci itu, seseorang menendang kakinya dari belakang.

Haechan terduduk di atas lantai, sedangkan Renjun dengan segera menolong Haechan.

"Bisa nggak buat gak main fisik?!" marah Renjun.

"Oi Bangsat! Yang bokapnya mantan Napi diam aja, Anjing!" teriak Zhenle, pelaku yang menendang Haechan.

Renjun terdiam.

"Jangan ngaku Abang gue, Berengsek!" marah Zhenle.

Aeri datang dan langsung memeluk Haechan.

"Kak Hakkum gak apa-apa?!" tanya Aeri panik.

Haechan terdiam menatap Aeri.

Air mata Haechan mengalir begitu deras.

"AERI!" marah Haechan.

Zhenle tertawa sinis.

"Masih gak mau ngaku kalau lo Hakkum?!" sinis Zhenle.

"Iya! Dia Hakkum Kakak gue!" balas Aeri sambil memeluk lengan Haechan.

"Gak usah nendang juga, Anjing!" marah Aeri.

"Kalian-"

"Udahlah, Hakkum! Nggak usah mengelak lagi! Tolong jangan rusak hubungan gue sama Mark dan Adik-adik gue lagi. Tolong..." lirih Hakkum.

Haechan menggeleng tak percaya.

Begitu tak maukah Hakkum dan Aeri mempertemukan dirinya dengan keluarganya, sampai-sampai mereka bermain peran seakan-akan dirinya lah yang menjadi pemeran antagonis di sini?

Aeri menarik Haechan keluar dari kelas Mark, sedangkan Renjun berusaha mengejar mereka berdua.

Renjun panik bukan main karena Aeri mendorong Haechan masuk ke sebuah mobil hitam yang Renjun yakini itu punya Aeri.

"KALIAN KENAPA JAHAT SAMA HAECHAN?! KENAPA?!" teriak Haechan frustasi.

Aeri tertawa senang.

"Lo cukup jalan sesuai drama yang udah diatur sama gue dan Hakkum. Ngerti?!" sinis Aeri tenang.

"Nggak! Gue gak mau!" tolak Haechan.

"Gue mau ketemu sama Mark! Gue mau ketemu sama Adik-adik gue!" tolak Haechan sambil menangis meraung-raung.

Aeri tertawa geli.

"Percuma lo ketemu sama mereka. Mereka gak akan percaya sama lo," ledek Aeri.

"Di mata Mark dan yang lainnya, berlian sekarang itu Abang gue. Dan lo? Lo udah dianggap sejelek-jelek nya di mata mereka semua!" sinis Aeri.

Haechan terdiam speechless. Apakah dirinya benar-benar tak bisa bahagia?

- 🤍🤍🤍 -

Im Not Antagonist | MarkHyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang