37

740 49 0
                                    

Haechan berjalan pelan ke arah Mark yang tengah duduk di samping jendela sambil menghembuskan asap rokoknya dengan panjang. Dia tahu kalau akhir-akhir ini Mark sering merokok. Tapi, Haechan masih merasa sedikit kaget saat melihat Mark merokok.

Rasa canggung mendera Haechan. Tapi, dia tetap berusaha untuk mendekati Mark.

"Mark..."

Mark refleks menoleh saat namanya dipanggil dengan sedikit pelan oleh Haechan. Bahkan suara si manis seperti berbisik saja.

"Hei! Morning, Sweetie!"

Mark berseru senang, lalu dengan segera dia mematikan rokoknya dan melemparnya keluar jendela.

"Ke ... Kenapa berhenti merokok?" tanya Haechan.

"Asap rokok nggak baik buat kamu," jawab Mark lembut.

Haechan tersenyum kecil.

"Mark-"

"Maaf karena akhir-akhir ini aku maksa kamu buat nikah lebih cepat. Maaf karena nggak pernah mikir tentang perasaan trauma kamu karena hubungan kedua orang tuamu."

Mark memotong ucapan Haechan sambil meletakkan jari telunjuknya di bibir ranum Haechan.

Mark berdiri, lalu mengangkat tubuh Haechan yang terbalut selimut agar duduk di tepi jendela. Haechan takut, refleks dia memeluk Mark karena takut jatuh dari ketinggian tiga lantai itu.

"Aku bakalan lamar kamu setelah kamu siap dan sembuhin trauma masa lalu kamu. Pernikahan itu disetujui oleh kedua belah pihak, kalau cuma sepihak itu salah satu pemaksaan. Dan aku nggak mau jadi pemaksa demi hubungan keluarga kita. Sesuatu yang dipaksakan akan jadi hal yang buruk di masa depan," jelas Mark lembut.

Haechan menggeleng cepat.

"Nggak. Aku mau nikah saat kamu udah siap, Mark. Aku udah memantapkan hati dan ikut pilihan kamu. Bahkan kalau kamu minta, aku dengan senang hati nerimanya, Mark," ucap Haechan lembut.

Mark terdiam beberapa saat.

"Jangan merasa nggak enak karena keputusan aku. Saat setelah menikah nanti, bukan hanya aku yang menjalani pernikahan kita, Sayang. Tapi, kita berdua yang akan menjalaninya. Nggak akan bahagia kalau salah satu sang pembuat pondasi egois," jelas Mark.

Haechan membalikkan tubuhnya sambil menatap lembut kedua mata pemuda beralis camar itu. Senyuman yang begitu manis dan juga menyejukkan hati terpampang pada bibir Haechan.

"Memangnya kamu lihat ada unsur keterpaksaan dari mata aku? Bukannya kamu orang yang paling tahu segalanya tentang aku? Bahkan, waktu aku ngerasa ragu saat jalin hubungan dengan kamu, kamu bisa menebaknya. Kenapa saat aku udah tulus kamu malah bersikap seakan-akan nggak peka," heran Haechan.

"..."

Haechan mencium lembut pipi Mark.

"Ayo menikah dan kita buat keluarga yang bahagia. Aku nggak sabar adopsi anak dan kita rawat bersama-sama! Dan kamu lupa kalau nggak lama lagi Chenle dan Zhenle mengadakan pernikahan bulan depan nanti? Aku malu kalau dilangkahi sama adik sendiri," ucap Haechan. Ada kalimat jujur di sana dan juga ada kalimat candaan di sana.

Tidak. Dia ingin dinikahi oleh Mark bukan karena dia yang tidak suka dilangkahi oleh adik kembarnya itu. Tapi, dia memang sudah membulatkan tekadnya sesuai dengan kesungguh-sungguhan Mark.

Mark tersenyum kecil.

"Aku nggak bisa nunggu terlalu lama, Mark. Jangan buat aku menunggu dan ayo menikah secepat mungkin! Lagi pula tidak lama lagi kita akan tamat kuliah. Mana mungkin status kita terus tersendat di hubungan pacaran ini," sedih Haechan.

Mark tersenyum kecil dan penuh kasih dia mencium kening Haechan.

"Tunggu saat aku benar-benar berhasil membuat semua orang bangga denganku, Sayang. Aku bakalan nikahin kamu dan buktiin kalau cinta itu nggak selamanya menyakitkan," ucap Mark lembut.

- 🤍🤍🤍 -

Im Not Antagonist | MarkHyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang