35. Pengkhianat

1.5K 148 17
                                    

Winata

Pameran tunggal. Pameran pribadi di galeri milik pribadi. Itu adalah salah satu dari cita-cita gue. Di masa depan, gue selalu berharap bisa memiliki space untuk semua karya seni yang gue buat. Ruang tempat orang lain bisa ikut menikmati potret lukisan dari tangan Winata Adiba.

Huh. Gue nggak berhenti menarik napas dan membuangnya perlahan. Kegugupan gue terlihat jelas saat melihat banyaknya orang yang hadir di tempat ini.

Jeffrian Lorenz. Kebanyakan karya di tempat ini merupakan milik pak Jeffrian. Dan diantara karya lukisan luar biasa ini, ada lukisan gue yang nyempil di sana.

Nata, lo harus berbangga diri untuk ini. Gue terus mengucapkan itu dalam hati. Papa pasti senang melihat gue yang dulu cuma bisa menggambar di atas pasir, ikut corat-coret bukunya tiap lagi kerja bisa sampai di titik ini.

Gue memang belum punya nama. Tapi gue yakin suatu saat orang-orang akan mengenal Winata Adiba sebagai salah satu pelukis berbakat.

Gue masih ingat kata-kata yang pernah diucapkan kak Malvin.

"Gue selalu berpikir Winata Adiba akan menjadi salah satu pelukis terkenal."

"Nata?" ah, sebuah kebetulan yang bagus.

Baru juga gue berpikir tentang kak Malvin, pria itu udah di sini. Berdiri nggak jauh dari gue sambil melambaikan tangan lucu.

"Hai kak, long time no see."

"Yeah, finally bisa ngelihat Winata Adiba lagi," ucapnya dengan bibir yang terus tersenyum. "Pangling ta... gue pikir salah manggil orang."

Gue menyeryitkan dahi, kak Malvin memindai penampilan gue. Oke, gue cukup mengerti.

"Cantik.. sama kayak lukisan lo." kak Malvin memuji gue.

Di depan kita lukisan gue terpajang begitu rapih diantara lukisan dengan tema yang sama. Gimana gue nggak bahagia, ada banyak orang yang berhenti dan menatap ke arah gue. Kebanyakan menatap dengan kagum, sebagian yang lain bingung menebak makna apa yang ada di dalam lukisan langit senja dan bulan sabit itu.

"Langit senja.. biar gue tebak," satu tangan kak Malvin bertumpu di dagu, dahinya berkerut seolah lagi mikir keras.

Gue nggak bisa nahan senyuman gue. "Datangnya senja menenggelamkan matahari, artinya nggak ada satupun di dunia ini yang abadi kak."

"Kalau gitu bulan sabit kecil itu artinya.."

Gue mengendikan bahu, nggak akan ngasih tau. Bulan sabit itu termasuk salah satu benda langit. Sama seperti bintang yang sangat gue suka. Bukan sabit di lukisan gue menggambarkan sosok papa.

Nggak ada yang abadi, termasuk kehidupan itu sendiri. But, tentu aja semua orang berhak mengintepretasikan maksud dari lukisan itu sesuai pemikiran mereka.

"Selalu susah ditebak... just like you ta."

"Apasih kak!"

Kak Malvin ketawa. Gue malah justru teringat dengan Nathan. Cowok itu memperlakukan lukisan gue seperti hiasan dinding. Meski begitu sama seperti kak Malvin, Nathan juga selalu kepo dengan setiap arti lukisan yang gue lukis.

"Malvin.. Nata," gue dan kak Malvin sontak menoleh.

Barusan pak Jeffrian yang manggil kita. Gue sempat menyapa pak Jeffrian tadi saat masuk, pria itu sibuk mengurus banyaknya pengunjung yang merupakan teman dan koleganya.

Sekarang dia berdiri di hadapan gue, bersama seorang wanita cantik yang gue tebak itu istrinya.

Sampai gue lihat makin banyak orang mendekat ke arah kita. Gue sama kak Malvin jadi berdiri bersisihan tanpa jarak. Gue natap kak Malvin penuh tanda tanya. Cowok itu menggeleng pelan, dia agaknya juga nggak tau rencana pak Jeffrian tentang pameran malam ini.

Obsession Series 2; Salty and SweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang