Cukup lama Ikasya mentertawakan Zen. Menurutnya itu sangat lucu saat mengetahui kebenaran tentang Zen menyukai Merina.
Padahal nasibnya sendiri tidak kalah lucunya dan pantas untuk ditertawakan. Zen sengaja diam membiarkan Ikasya puas dengan semua omong kosong yang ia keluarkan.
"Untuk saat ini, kau ku bebaskan untuk mengatakan apa pun. Anggap saja itu kesempatan terakhir mu menggunakan mulut kotormu itu."
"Jadi kapan aku akan dibebaskan?" Ikasya berhenti dari tertawanya, namun masih memasang senyum diwajahnya.
"Apa alasan untuk membebaskan mu?"
"Javier sangat mencintai bukan? Sudah kukatakan itu."
Zen menghela nafas kasar sebelum ia meninggikan suaranya dihadapan Ikasya.
"Kau masih saja menyangkal! Jangan lupakan bahwa Duke sudah menceraikan mu, kalian bukan suami istri lagi sekarang. Jadi jangan pernah sebut namanya sekali lagi, dan berhentilah mengada-ngada.""Itu akan menjadi penyesalannya karena telah menceraikanku. Aku yakin dia masih mencintaiku dan akan membebaskanku."
Zen dapat melihat senyum palsu di wajah Ikasya, sebenarnya wanita itu pasti sangat mengetahui hukuman apa yang akan ia hadapi, tapi tetap saja disaat seperti ini dia masih mengkhayal sesuatu yang tidak mungkin.
Menyedihkan, dia seratus persen sudah tidak waras."Jangan bersikap seolah kau itu tegar. Aku tahu kau sangat takut mati." Zen mengangkat salah satu sudut bibir seolah meremehkan lawan bicaranya.
"Cepat panggil tuanmu, aku tidak tahan berlama-lama di sini."
"Bertemu dengannya sama saja kau siap menyambut kematianmu sendiri." Zen berdiri sembari berludah ke arah Ikasya.
"Kau bajingan! Seumur hidupku tidak ada yang berani meludahi ku seperti ini. Menjijikkan!"
"Padahal Baga sengaja dipindahkan dari kandangnya hanya untuk menemanimu disini. Secepat itu kau ingin berpisah dengan nya?" ucap Zen sambil sekilas melirik macan yang tertidur tepat di samping Ikasya yang hanya berbatas tembok.
Tapi jika itu yang kau inginkan, aku juga tidak keberatan. Kupastikan Duke menemuimu secepatnya." Zen berbalik dan meninggalkan Ikasya di ruangan minim penerangan itu.
"Sialan!" Ikasya menggerutu karena rambutnya terkena air liur menjijikkan.
Kesal karena diperlakukan seperti manusia hina, yang lebih kotor dari kotoran.
"Aku akan mengadukan ini, biar dia diberhentikan," ucapnya sambil menahan kekesalan.
Tak lama dari itu, Zen datang lagi, tapi kali ini tidak sendiri. Ia menepati janjinya untuk membawa Javier.
Melihat itu, Ikasya kegirangan karena ia bisa kembali melihat wajah yang ia rindukan, namun rasa bahagia itu tidak lama, senyumnya memudar saat menyadari Javier memasang tampang menyeramkan dan membawa pedang panjang yang ada ditangannya.
"Kudengar kau sudah bosan disana?" Javier berjalan dengan santainya menuju Ikasya yang terlihat mematung.
"Baiklah aku juga tidak ingin terus mengurusmu. Ayo kita akhiri ini." Suara gesekan dari ujung pedang yang mengenai lantai berhenti tepat dihadapan Ikasya.
Dengan perasaan tidak nyaman, Ikasya perlahan mengalihkan pandangannya dari mata pedang itu mencoba berani menatap Javier. "Kau tidak mungkin-"
"Apa yang di pikiranmu benar."
"Tidak!" Matanya memanas saat menyadari kematiannya akan datang secepat ini.
Setelah pintu kurungan itu dibuka oleh Zen, dengan cepat Ikasya melangkah mundur ketakutan saat Javier masuk membawa pedangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Duke, Ayo Kita Bercerai!
Random(BELUM DIREVISI) Nurra, seorang Jaksa yang harus mati karena pembunuhan berencana. Pembunuhan itu dilakukan untuk menutupi kebenaran dari kasus korupsi yang ia tangani. Rasanya belum cukup dengan kesialan itu saja, Nurra mendapati dirinya terbangun...