Bab 3

96 17 0
                                    

~FLORA~

Aku mulai merasa tidak nyaman dengan Toby yang terus menatapku. Sudah beberapa menit sejak ayahnya keluar dari keluar dari ruangan ini tadi, Toby masih saja diam.

Sebenarnya, aku ingin berbicara dan bertanya lebih dulu tentang apa saja hal yang harus kupelajari untuk memulai pekerjaanku. Tapi, tatapannya yang tampak menilai itu membuatku jadi merasa ciut.

"Namamu tadi Flora, bukan?", setelah bermenit-menit lamanya, Toby baru berbicara padaku.

Aku pun mengangguk.

"Benar."

"Oke, Flora. Sebelum kita mulai membahas urusan pekerjaan, mari kita perjelas dulu batasan di antara kita. Tadi, kudengar kau memanggil ayahku dengan sebutan 'Uncle'. Panggilan semacam itu menunjukkan bahwa kau mempunyai hubungan yang dekat dengannya. Jika ayahku memang tidak keberatan, kau bisa tetap memanggilnya seperti itu meski di lingkungan kantor. Tapi, hal tersebut tidak berlaku padaku."

"Maaf, tapi orang tuamu sendiri yang memintaku agar memanggil mereka demikian.", kataku membela diri.

"Ya. Aku tahu. Sejak awal, orang tuaku memang terlihat menyukaimu. Aku memang pernah tahu sedikit tentang dirimu saat sering berkunjung ke Colorado dulu. Tapi, kita baru saja berkenalan secara resmi beberapa menit yang lalu. Aku tidak ingin kau beranggapan bahwa karena kau sudah dekat dengan orang tuaku, maka kau juga akan merasa dekat denganku secara personal. Hal tersebut tidak demikian. Meskipun kita saling mengenal, tapi kita tidaklah dekat. Saat berada di kantor, aku adalah atasanmu. Jadi, aku ingin agar kau bersikap profesional saat berhadapan denganku. Kau pasti tahu apa maksudku, bukan?"

"Ya. Aku tahu, Sir.", jawabku yang langsung menangkap maksudnya.

Sejujurnya, dalam hati aku merasa tersinggung atas penjelasan Toby tadi. Tanpa dia mengatakannya sekalipun, aku juga sudah tahu bahwa dia adalah atasanku. Aku paham tentang bagaimana cara bersikap profesional dan sopan pada atasan. Apakah dia menganggapku sangat bodoh hingga perlu dijelaskan tentang etika dasar seperti tadi? Lagipula, sejak awal Toby juga sudah menunjukkan kesan tidak ramah padaku. Jadi, bagaimana bisa aku berpikir bahwa dia akan menerimaku dengan mudah?

"Bagus.", ucap Toby dengan dingin. Kemudian, dia berjalan menjauh dariku menuju ke balik meja kerjanya. Setelah itu, dia duduk di kursi kebesarannya. "Duduklah. Ada beberapa hal yang harus kujelaskan padamu. Kali ini tentang pekerjaan.", katanya lagi sambil memberiku kode agar duduk di kursi yang ada di seberang mejanya.

Dengan ragu, aku melangkah maju lalu duduk di hadapannya. Tidak lupa, aku juga mengeluarkan buku jurnal dan pulpen dari dalam tas untuk mencatat penjelasan Toby nanti.

"Sekarang, aku ingin tahu sedikit banyak tentang dirimu. Ceritakan padaku apa saja keahlian dan pengalamanmu. Dengan begitu, aku bisa memiliki gambaran tentang pekerjaan apa yang bisa kuberikan sebagai tugas pertamamu di sini.", Toby berbicara dengan santai sambil bersandar dengan nyaman pada kursinya.

Untuk beberapa saat, aku berpikir sebelum menjawab pertanyaannya.

"Hmm... aku adalah seorang lulusan major accounting. Aku cukup bagus dengan angka. Aku teliti dalam membuat laporan dan perhitungan. Lalu, soal pengalaman... aku tidak yakin. Karena aku adalah seorang lulusan baru. Dan ini adalah pekerjaan pertamaku.", aku menjawab dengan terus terang.

"Kau bukan seorang lulusan dari universitas ternama. Ditambah, tadi kau juga mengatakan bahwa kau tidak punya banyak pengalaman yang bisa kau ceritakan untuk menjual kualitas dirimu?", Toby bertanya dengan ekspresi tercengang. "Sungguh luar biasa. Bagaimana bisa ayahku membawa seseorang dengan kualifikasi yang tidak mumpuni ke perusahaan ini?", imbuhnya bergumam namun penuh dengan sindiran.

Steal His HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang