Bab 22

74 6 12
                                    

~TOBY~

"Mom, Dad...", aku langsung mencari orang tuaku begitu sampai di rumah.

Penerbangan dari Jerman ke New York cukup melelahkan. Namun, rasa lelah itu tertutup oleh rasa terburu-buru ingin bertemu dengan Flora. Karena kemarin dia mengatakan bahwa dia akan pulang ke Colorado hari ini. Semoga saja, aku belum terlambat untuk menemuinya.

Tapi, belum sempat aku melihat orang tuaku di dalam rumah, terdengar suara deru mobil. Saat aku menoleh, mobil berhenti di depan rumah lalu terlihat kedua orang tuaku keluar dari sana. Dengan masih menyeret koper, aku berjalan lagi ke arah pintu untuk menghampiri mereka.

"Mom, Dad, kalian dari mana? Dan di mana Flora?", aku langsung bertanya pada mereka.

"Kami baru saja pulang dari bandara untuk mengantar Flora.", ayahku menjawab.

"Jadi, Flora sudah pulang ke Colorado?", tanyaku tidak percaya.

"Ya. Dia sudah pulang ke sana. Pesawatnya sudah terbang sejak setengah jam yang lalu. Oh ya, tadi Flora juga titip salam untukmu. Dia minta maaf karena tidak bisa menunggumu serta berterimakasih padamu."

Jadi, Flora sudah pergi dan tidak mau menungguku?

Tiba-tiba aku merasa marah. Apa dia tidak tahu betapa tadi aku terburu-buru ingin segera sampai di rumah agar bisa melihatnya? Dan hanya berselang setengah jam, dia tetap tidak mau menungguku!

"Jika dia pergi begitu saja, seharusnya dia tidak perlu titip salam!", aku malah menanggapi dengan ketus.

Sedangkan, ayah dan ibu saling menatapku heran.

Kemudian, aku berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah.

"Kau kenapa, Toby?", ibu bertanya padaku.

"Tidak apa-apa.", balasku sambil tetap berjalan lalu duduk di sofa untuk melepas jas dan melonggarkan ikatan dasi yang terasa mencekikku.

"Apa kau kecewa karena Flora tidak menunggumu?", ayah juga ikut bertanya.

"Siapa yang kecewa? Aku biasa saja."

"Bohong. Kami tahu bahwa kau kecewa karena tidak bisa bertemu Flora sebelum dia kembali ke Colorado, bukan?"

"Tidak. Dia saja tidak mau menyempatkan dirinya menungguku. Kenapa juga aku harus merasa kecewa?", aku terus menyangkal dengan keras.

Kupikir, ibu dan ayahku akan kembali bertanya macam-macam padaku. Tapi, ternyata tidak. Ayah hanya mengendikkan bahu. Sedangkan, ibu malah tersenyum.

"Oke. Terserah padamu.", ibu menanggapi ringan. Tapi, nada bicaranya terdengar seperti tidak percaya padaku. "Oh ya, apa kau lapar? Kau pasti juga lelah setelah menempuh perjalanan jarak jauh."

"Ya. Aku sangat lapar, Mom. Karena begitu lapar, rasanya seperti aku ingin makan orang.", entah kenapa perasaan kesal itu masih tetap bercokol di hatiku.

Lagi-lagi, ibuku tersenyum.

"Oke. Mommy akan meminta pelayan agar menyiapkan makanan untukmu. Sebaiknya, sekarang kau ke kamar dulu untuk mandi dan menyegarkan diri."

Tanpa banyak berkomentar, aku mengangguk menuruti ucapan ibuku. Setelah itu, aku berdiri dari sofa dan berjalan menuju ke kamarku.

***

Sudah hampir dua bulan sejak Flora mengundurkan diri. Kupikir, semuanya akan kembali berjalan normal. Tapi, yang ada aku malah semakin kacau. Sejak saat itu, entah kenapa aku jadi uring-uringan. Emosiku benar-benar tidak stabil. Akibatnya, itu berimbas pada urusan pekerjaanku yang juga jadi ikut kacau. Bayangkan saja, belum ada dua bulan, aku sudah berulang kali ganti asisten pribadi. Dan yang terakhir, baru saja kupecat tadi siang karena kinerjanya yang tidak becus.

Steal His HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang