Bab 7

86 13 10
                                    

~FLORA~

"Sekarang, apa yang harus kita lakukan?", aku bertanya pada Toby sesaat setelah dia mengatakan bahwa kemungkinan saat ini kami tersesat.

"Kau tidak perlu panik. Aku akan menelpon seseorang agar menjemput kita di sini."

Berbeda denganku, Toby masih saja terlihat tenang dan santai. Lalu, dia membuka ponsel dan mengetik sesuatu di sana.

"Astaga! Ponselku juga tidak ada sinyal.", Toby mengumpat kesal.

Sungguh, rasanya aku ingin sekali protes pada Toby. Bagaimana bisa dia teledor hingga membuat kami tersesat di tengah jalanan hutan seperti ini? Tapi, jika aku protes dan terus merengek, aku yakin bahwa dia pasti akan balik memarahiku. Sementara, saat ini hanya kami berdua di sini. Kurasa, bukan ide yang baik jika kami bertengkar dalam keadaan seperti ini.

Setelah tidak berhasil menghubungi seseorang dengan ponsel, Toby kembali menyalakan mesin mobil.

"Kita mau ke mana?", aku bertanya masih dengan risau.

"Aku akan putar balik menuju ke arah belokan pertama tadi."

"Apa kau masih ingat jalan putar baliknya?"

"Tentu saja aku ingat! Kita hanya perlu berjalan lurus sekitar lima belas menit dari sini.", Toby tampak kesal menanggapi pertanyaanku. Lalu, dia mulai mengemudikan mobil. Namun, saat kami baru berjalan ke arah putar balik selama lima menit, tiba-tiba mobil berhenti. "Astaga! Kenapa juga dengan mobil ini?!"

"Jangan-jangan bahan bakarnya habis?", aku menduga dengan tidak senang. Mengingat Toby sudah mengemudikan mobil ini selama beberapa jam, dan sejak tadi dia belum mengisi bahan bakar.

Toby melihat indikator ketersediaan bahan bakar pada mobil. Lalu, dia menghela napas lelah.

"Ya. Benar, bahan bakarnya habis. Aku tidak tahu kalau mobil yang kusewa ini boros bahan bakar."

Seketika, aku jadi lesu.

Bagaimana tidak?

Kami tersesat dengan kondisi mobil yang kehabisan bahan bakar, ponsel yang tidak ada sinyal, di tengah jalanan hutan pula.

"Sekarang, kemasi semua barangmu yang ada di mobil. Lalu, kita keluar.", Toby berbicara dan mulai memasukkan ponsel, dompet dan beberapa barangnya ke dalam ransel yang dia bawa.

"Kita mau ke mana?"

"Kita akan berjalan kaki menuju ke arah belokan pertama tadi."

"Jalan kaki? Di tengah hutan dan pada malam hari seperti ini?", tanyaku memastikan rencananya.

"Ya. Apa kau ingin berdiam diri saja di dalam mobil yang kehabisan bahan bakar ini? Kita harus tetap bergerak dan mencari bantuan agar bisa segera keluar dari jalanan hutan ini."

Sebenarnya, aku sedikit tidak setuju dengan idenya. Tapi, aku tidak punya pilihan selain mengikuti Toby keluar dari mobil lalu berjalan kaki.

"Sir, aku takut...", kataku sedikit merengek saat kami sudah berjalan kaki selama hampir setengah jam, namun tidak menemukan satu pun mobil yang melintas di jalanan sekitar sini. Ditambah, suasana di sekitar kami semakin gelap, hanya ada beberapa lampu jalanan yang menerangi.

Toby yang berjalan satu meter di depanku, kini menghentikan langkahnya lalu menatapku.

"Ini semua karena kau! Jika kau tidak ikut denganku, semuanya pasti tidak akan kacau seperti ini.", bukannya menenangkanku, Toby malah membentak dan memarahiku.

"Anda yang mengemudi. Dan Anda juga yang salah membaca GPS. Bagaimana bisa Anda malah menyalahkanku?!", jika biasanya aku hanya diam saat dia memarahiku di kantor, kali ini aku membela diri. Aku  tidak terima dia menyalahkanku atas kesalahan yang tidak kuperbuat. Tuduhannya itu sungguh tidak masuk akal.

Toby kembali mengumpat.

"Aku lelah! Kita istirahat sebentar di sini.", ucap Toby yang semakin kesal dan kini mulai terlihat putus asa karena kelelahan berjalan kaki.

Kemudian, dia duduk di pinggir jalan dan mulai membuka ransel untuk mengeluarkan botol air minum. Lalu, dia mulai minum. Sedangkan, aku masih berdiri memperhatikannya sambil dalam hati menahan rasa kesal. Tapi, saat Toby tengah sibuk menuntaskan dahaganya, tanpa sengaja tangan kirinya menyenggol ransel miliknya yang tadi dia letakkan di sebelah tubuhnya. Akibatnya, ransel tersebut jatuh ke arah pinggir jalan yang merupakan lembah.

"Ranselku...!", Toby berseru panik. "Aku harus mengambilnya."

"Jangan, Sir. Kita tidak tahu lembah di sana itu sedalam dan securam apa. Apalagi, dalam kondisi malam hari dan gelap seperti ini.", aku buru-buru menahannya.

"Tapi, di dalam ransel itu ada dompet, ponsel dan laptopku. Aku harus mengambilnya.", Toby tetap bersikeras lalu dengan perlahan menuruni lembah yang ada di pinggir jalan.

Sungguh, pria ini sangat keras kepala.

"Hati-hati, Sir."

Dan baru beberapa detik setelah aku memperingatkannya agar berhati-hati, tiba-tiba Toby berteriak dan terdengar suara dia seperti jatuh terperosok.

"Sir...!", aku langsung panik setelah mendengar teriakannya.

"Argh...! Kakiku...!", terdengar suara Toby mengeluh di bawah sana.

Dengan segera, aku mengeluarkan ponselku dari dalam tas lalu menyalakan senter. Meski kakiku gemetar, tapi aku tetap berjalan dengan hati-hati ikut menuruni lembah untuk mencari Toby. Dan aku langsung mendesah lega begitu menemukan Toby terduduk di bawah lembah yang posisinya tidak jauh dariku. Lalu, aku menghampirinya.

"Sir, Anda tidak apa-apa?"

"Aku terpeleset. Dan saat jatuh tadi, kakiku terkena ranting pohon. Sekarang, kakiku terluka.", Toby menjawab dengan sedikit merintih.

Aku segera mengarahkan senter ke bagian kakinya. Dan benar, bagian kanan bawah celana yang dikenakan Toby terlihat sobek hingga memperlihatkan betisnya yang berdarah.

Aku dengan cepat mencari sesuatu dalam tas yang dapat kugunakan untuk menolong Toby. Untung saja, aku tidak pernah lupa membawa perlengkapan obat pribadi, termasuk povidone iodin dan plester kecil.

"Ini mungkin akan terasa perih. Tapi, tahanlah sebentar."

Aku mulai meneteskan povidone iodin ke bagian kaki Toby yang terluka. Sementara, Toby sesekali meringis karena menahan perih. Baru setelah dia merasa lebih tenang, aku menutup luka pada kakinya dengan sapu tangan yang kubawa lalu kulekatkan bagian pinggirnya dengan plester.

"Seharusnya, luka ini ditutup dengan kasa steril atau perban. Tapi, aku hanya punya sapu tangan di dalam tasku. Setidaknya, dengan ditutup sapu tangan seperti ini untuk sementara waktu, luka Anda akan terlindungi dan tidak akan tergores oleh ranting pohon yang lebat di sekitar sini saat kita berjalan nanti."

"Tidak masalah. Ini sudah lebih baik.", balas Toby yang tampak sedikit lemas.

Setelah selesai mengurus lukanya, aku kembali memasukkan perlengkapan obatku ke dalam tas. Dan itu bertepatan dengan senter pada ponselku yang tiba-tiba berhenti menyala.

"Tidak! Jangan katakan baterai ponselku habis!", kataku panik. Dan benar saja. Setelah berulang kali mencoba, ponselku tetap tidak menyala. "Sir, apakah baterai ponsel Anda masih ada?"

"Apa kau lupa bahwa ranselku beserta isinya, termasuk ponsel, jatuh ke bawah sana beberapa saat yang lalu?", Toby malah balik bertanya dan tampak jengah.

"Oh ya... Astaga...! Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?"

Kemudian, dengan lesu aku duduk di tanah mengikuti Toby.

Tersesat di tengah hutan tanpa ponsel dan lain-lain, bagaimana cara kami akan keluar dari tempat ini nanti?

***

Steal His HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang