Bab 11

63 12 6
                                    

~FLORA~

"Selamat makan...", Toby berseru saat pelayan selesai menghidangkan steak yang kami pesan.

Sepertinya, Toby memang kelaparan. Itu terbukti dari dia yang langsung makan dengan lahap.

Sedangkan, aku masih diam dan belum menyentuh makananku. Sejujurnya, aku masih bertanya-tanya.

Apa yang kulakukan di sini? Aku dan Toby makan berdua di meja yang sama? Itu adalah hal yang sangat tidak biasa.

Aku tahu betul bahwa Toby sangat menjaga jarak dariku. Maksudku, sejak awal dia selalu berusaha menjaga batas di antara kami. Tapi, malam ini dia secara tiba-tiba mengajakku makan malam bersama.

Meski dalam hati tidak yakin tentang apa alasannya, namun aku tetap menerima ajakannya. Itu karena tadi Toby sudah membantu menyelesaikan pekerjaanku hingga membuat dirinya pulang terlambat. Kurasa, akan sangat tidak sopan jika aku menolak ajakannya sementara dia telah membantuku sebelumnya.

"Flora, kenapa kau hanya diam? Kau tidak makan?", pertanyaan Toby membuyarkan lamunanku.

"Oh ya, aku... aku akan makan, Sir. Selamat makan...", aku berkata dengan canggung.

Dengan segera, aku memegang peralatan makan lalu mulai memakan steak yang ada di hadapanku.

Selama makan malam berlangsung, kami sama-sama diam karena fokus pada kegiatan makan kami masing-masing.

"Bagaimana menurutmu rasa makanan di restoran ini?", Toby bertanya padaku setelah dia selesai makan.

Aku yang juga sudah selesai makan dan minum, kini tersenyum dan mengangguk.

"Steak-nya sangat enak. Aku suka dengan rasa dan tekstur dagingnya. Semuanya terasa segar dan pas.", nilaiku jujur.

"Sudah kuduga. Kau pasti akan menyukainya. Hampir semua menu di restoran ini rasanya sangat enak. Dan steak di sini adalah yang terbaik. Terlebih, letak restoran ini juga dekat dengan kantor. Aku cukup sering datang ke sini. Jadi, aku sudah hafal menu apa saja yang terbaik di sini. Karena itu, aku mengajakmu makan malam di sini.", Toby berbicara dengan tersenyum seolah bangga atas rekomendasinya terhadap restoran ini.

Aku hanya tersenyum tipis menanggapi serta mengangguk mengerti.

Ngomong-ngomong, aku baru sadar bahwa ternyata Toby juga bisa tersenyum. Maksudku, senyum yang tulus. Bukan senyum profesional seperti yang biasa dia tunjukkan saat berhadapan dengan klien atau senyum terpaksa yang biasa dia tunjukkan saat harus menerima keputusan sepihak dari orang tuanya.

Kalau dipikir-pikir, dia terlihat bagus dengan senyumannya itu. Toby adalah pria yang tampan. Hanya saja, dia sering berwajah muram dengan eskpresi yang datar dan cenderung dingin. Saat melihat dia tersenyum seperti ini, dia jadi terasa lebih mudah untuk dijangkau. Bahkan, kalau boleh jujur, dia terlihat lebih mempesona ketika tersenyum. Sepertinya, suasana hatinya kali ini sedang baik sehingga secara tidak sadar jadi murah senyum seperti ini.

"Hmm... ngomong-ngomong, bagaimana kondisi luka pada kaki Anda, Sir?", aku bertanya mengalihkan topik pembicaraan. Karena aku ingat bahwa kemarin Toby bertemu dengan dokter untuk melakukan kontrol.

"Kondisi kakiku sudah membaik. Lukanya juga sudah kering. Dua hari lagi, aku akan kembali ke dokter untuk melepas jahitannya."

"Syukurlah. Aku senang mendengarnya."

Setelah menjawab pertanyaanku, tiba-tiba Toby menatapku dengan sedikit intens.

"Terimakasih, Flora. Aku senang karena kau bertanya tentang keadaanku."

Aku menatapnya dengan dahi berkerut. Aku tidak paham akan maksud ucapan terimakasihnya itu. Bukankah sesuatu yang kutanyakan tadi adalah hal yang wajar dan sepele?

Steal His HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang