Tw // minor character death, mention of suicidal thoughts.
Berkali-kali pun luka digoreskan begitu dalam oleh sang bunda, tidak ada sedikitpun sayangku yang hilang untuk beliau. Bagaimana pun, bunda yang melahirkan aku. Bunda juga selalu menyayangi ku meski itu berubah setelah usiaku menginjak lima tahun.
Mendengar kabar bahwa bunda meninggal adalah hal yang sangat tidak pernah aku inginkan. Dadaku mendadak sesak. Aku menangis sepanjang perjalanan bersama kak Jeongguk menuju rumah sakit yang Jimin maksud.
Entah apa yang terjadi. Aku tidak pernah menemui bunda lagi sejak pertama kali ayah mengusirku pergi. Mungkin ini juga kesalahanku karena sama sekali tidak mencoba mencari kabar tentang bunda.
Jimin menungguku di depan ruang mayat bersama ayah yang menunduk dengan tangisannya di kursi panjang di depan ruangan tersebut.
"Taehyung, tolong tenang ya. Kamu lihat bunda dulu, nanti aku bantu jelasin pelan-pelan." Jimin memeluk tubuhku sambil berbisik lembut. Aku tahu ia mencoba menguatkanku.
Kak Jeongguk menuntunku untuk menemui bunda. Aku melihat bunda, tersenyum dalam tidur panjangnya. Tangisanku semakin meledak meski aku berusaha untuk menahannya. Kak Jeongguk menggenggam erat tanganku dan merengkuh tubuhku yang rapuh.
Aku melihat bunda untuk yang terakhir kalinya. Bunda, aku minta maaf karena aku tidak bisa menjadi putra yang bunda harapkan, tapi kenapa bunda pergi sebelum kita bisa saling bicara?
*
Tatapan mataku kosong. Begitu tidak memiliki minat, bahkan hanya untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.
Kak Jeongguk masih tidak berhenti menggenggam jemariku. Aku masih tidak ingin melihat wajah ayah, tetapi Jimin berada di samping kiriku—siap menjelaskan kondisi terakhir bunda.
"Maaf Taehyung, tapi ayahmu bilang bunda Jihan sering sekali sakit sejak ayah mengusirmu pergi. Berkali-kali bundamu bertanya kemana perginya kamu, dan mereka sering terlibat pertengkaran setelahnya. Dua bulan lalu, ayahmu baru tahu kalau ternyata bundamu memiliki masalah pada paru-paru dan hal yang paling ia inginkan adalah bertemu denganmu." Jimin mengembuskan napas sebagai jeda dari ucapannya.
"Pagi tadi kondisinya mendadak drop, padahal sebelumnya bundamu baik-baik saja. Kebetulan aku sedang ada di sini karena menjenguk teman kuliahku yang sakit, jadi ayahmu sekalian meminta bantuan padaku," Sambung Jimin.
Dan aku tidak langsung merespon ucapannya. Aku masih tidak mengerti. Alasan mengapa ayah sangat membenciku, lalu mengapa bunda juga berhenti berbicara padaku. Pertengkaran mereka tentang penyesalan membiarkanku lahir tempo waktu kembali mengganggu pikiranku.
"Setidaknya dia harus mengatakan alasan mengapa dia berhenti bicara padaku, kenapa dia malah pergi lebih dulu tanpa membuatku memahami perilakunya, Jim??" Ujarku lirih.
"Taehyung, aku juga tadi sangat marah pada ayahmu. Beberapa kali aku mengeluarkan kalimat kurang mengenakkan padanya. Bagaimana bisa seorang ayah mengusir anaknya sendiri? Tapi, kau bisa bicarakan ini dengan ayahmu nanti. Ia menyesal, dan berharap kau mau mendengarkan alasannya nanti."
Aku menoleh pada Jimin. Wajahku sudah tidak keruan, tidak peduli. Aku menghapus sisa-sisa air mata pada pipiku sebelum bertanya, "Apakah kamu tahu? Aku ingin dengar dari Jimin saja."
Jimin menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu. Aku rasa memang lebih baik kamu yang membicarakannya sendiri dengan ayahmu." Kemudian pemuda bermata sipit itu sedikit melirik ke arah kak Jeongguk.
"Kak Jeongguk bisa menemanimu, kalau kau takut sendirian berbicara dengan ayahmu, Taehyung." Ujar Jimin.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
120 Minutes (Kookv)
FanfictionTaehyung itu sendirian. Sudah terbiasa sendirian sejak usianya masih belia. Ayah dan Bundanya sibuk bekerja, teman-temannya begitu membencinya karena katanya sih Taehyung terlalu pintar, sehingga teman-temannya sulit sekali mengalahkannya. Taehyung...