Suara jepretan kamera terdengar beberapa kali. Taehyung tersenyum senang melihat hasil jepretannya malam ini, pemuda dengan senyum kotak itu merasa skill memotretnya sudah lebih baik dibandingkan dengan yang sebelumnya.
Hari sudah begitu malam, hawa dingin musim semi tak membuat Taehyung menggigil dan menyudahi aktivitasnya, pria manis dengan kulit –tan itu berjalan melalui jembatan panjang yang terdapat gembok-gembok di sisi pagar pembatasnya.
Mungkin karena terlalu sibuk dengan kegiatannya—berjalan sembari fokus kepada gambar-gambar di kameranya, Taehyung merasa ia menubruk tubuh di depannya sebelum Ia terjatuh dan meringis kecil.
“Shh, pantatku.” Rengeknya masih sibuk dengan urusan ‘pantat malangnya yang sakit’ tanpa menghiraukan uluran tangan seseorang di depannya.
“Hei, bangun. Aku tahu itu sakit, makanya kalau jalan jangan fokus pada hal lain.” Suara laki-laki yang terdengar begitu dewasa dan sedikit dingin itu membuat Taehyung mengalihkan pandangannya.
Mata pria manis itu hanya menatap bingung lelaki bertubuh besar dengan rambut hitam yang tengah mengulurkan tangannya itu.
“Tidak mau bangun, ya?” lelaki misterius itu kembali bersua, membuat reflek Taehyung meraih uluran tangannya, dan segera bangkit dari jatuhnya. Setelahnya, Taehyung mencoba melepaskan genggaman tangan lelaki misterius itu, tetapi entah kenapa tidak juga bisa dilepaskan.
“Saya Jeongguk. Sepertinya saya harus meminta maaf padamu dengan semangkuk ramen. Mau? Saya lapar.” Lelaki yang ternyata bernama Jeongguk itu berucap. Anehnya, ia bertanya dengan intonasi yang lurus saja.
Sebelum Taehyung berhasil menyuarakan protesnya, Jeongguk segera menarik lembut tangan Taehyung—agak sedikit memaksa, sih. Alhasil Taehyung hanya bisa terdiam dan menuruti lelaki asing yang baru ia temui beberapa detik yang lalu.
Tidak ada yang spesial, hanya dua mangkuk ramen dan dua buah air mineral di atas meja sebuah convenience store. Kemudian, dua insan yang baru saja mengenal itu hanya terduduk canggung di tempatnya masing-masing.
Taehyung hanya mengaduk-aduk ramyeonnya yang sudah hampir dingin, sedangkan pria di hadapannya dengan tenang melahap hampir setengah mangkuk ramyeonnya.
“Di makan, Saya pesankan kamu ramyeon itu agar tubuhmu kembali hangat. Kalau sudah dingin percuma saja.” Ujar Jeongguk tanpa mengalihkan pandangannya dari semangkuk ramyeon yang hampir tandas di depannya.
Taehyung hanya menghela napas pasrah, kemudian anak manis itu mulai memakan apa yang harusnya ia makan sejak tadi.
***
Dulu Taehyung pernah mendengar nasihat dari Sang Ayah sewaktu dirinya masih duduk di kelas dua Sekolah Dasar. Ayahnya berkata, ‘Jangan sesekali memberikan kepercayaan pada orang lain yang baru kamu temui. Ia bisa saja mempunyai niat jahat kepadamu, Nak.’
Tapi soal Jeongguk ini, Taehyung sepertinya bisa mengabaikan pesan belasan Tahun dari Sang Ayah. Jeongguk berbeda, ia begitu tulus sejak awal mereka bertemu tadi. Bahkan kini mereka sedang berada di dalam bus, Jeongguk mengantarkan Taehyung pulang dengan alasan ‘ini sudah malam, bodoh. Tidak mungkin Saya tega meninggalkan bocah ingusan seperti kau untuk pulang seorang diri dengan bus umum.’
Oke. Meskipun lelaki yang lebih tua dari Taehyung ini terkesan dingin dan membosankan, tetapi begitu baik. Jadi Taehyung dengan tenang mengiyakan keinginan Jeongguk untuk mengantarnya pulang.
Justru anak itu senang-senang saja. Ia jarang sekali di perhatikan orang orang-orang termasuk keluarganya sendiri. Anak berusia delapan belas tahun itu hanya bisa tertawa kecil dan mengangguk patuh ketika Jeongguk berucap seolah Taehyung adalah balita yang tersesat.
“Hyung, Aku turun di halte selanjutnya.” Ujar Taehyung ketika Ia merasa jika halte pemberhentiannya sudah semakin dekat. Jeongguk mengangguk, kemudian menekan tombol yang tersedia di dalam bus.
“Kau yakin tidak mau saya antar sampai depan rumahmu?”
“Tidak, rumahku tidak jauh dari halte, Hyung.” Jawab Taehyung.
Ia tidak berbohong, karena sungguh rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari halte. Jeongguk anggukkan kepalanya, kemudian mempersilahkan Taehyung turun dari bus.
Mereka sempat bertukar twitter saat makan bersama tadi, dan Taehyung janji akan mengucapkan banyak terima kasih pada Jeongguk lewat DM nanti. Bukan ia lupa untuk mengucap terima kasih, ia hanya malu. Ya, malu jika harus berbicara langsung pada Jeongguk.
***
Minggu kedua di bulan Maret 2001 ini membuat Taehyung sedikit bingung. Ia akan mengikuti acara kelulusan, tetapi ia tidak tahu siapa yang akan datang ke acara wisuda sekolahnya. Ayah dan Bundanya adalah seorang pekerja keras, terlalu mementingkan pekerjaan membuat mereka terkadang lupa kalau Taehyung adalah anak mereka.
Taehyung menekan pin apatonya dengan wajah yang begitu senang sembari menggenggam sebuah surat selembaran di tangannya. Lusa dirinya akan wisuda dan resmi lulus dari sekolahnya untuk melanjutkan Kuliah.
Baru saja ia akan mendorong pintu, suara wanita berteriak membuatnya urung melakukannya. Taehyung malah terpaku di depan pintu yang belum terbuka lebar.
“TAEHYUNG ITU ANAKMU YOONWU! KALAU BUKAN KARENA KAU, IA TIDAK AKAN LAHIR!!”
“AKU SUDAH BILANG PADAMU, GUGURKAN SAJA! KAU TIDAK MENDENGARKANKU! SEKARANG KAU MENYALAHKANKU?! HEBAT SEKALI KAU JIHAN!”
Cukup, Taehyung tidak perlu mendengar lagi kelanjutannya. Ia memutuskan untuk berlari kemanapun yang Ia bisa, meninggalkan Bunda dan Ayahnya untuk sesaat ini, menghilangkan pikiran jahatnya tentang dirinya sebagai anak yang tidak diharapkan.
(Tbc)
KAMU SEDANG MEMBACA
120 Minutes (Kookv)
Fiksi PenggemarTaehyung itu sendirian. Sudah terbiasa sendirian sejak usianya masih belia. Ayah dan Bundanya sibuk bekerja, teman-temannya begitu membencinya karena katanya sih Taehyung terlalu pintar, sehingga teman-temannya sulit sekali mengalahkannya. Taehyung...