Selamat membaca.
Maaf banyak typo.
-
-
-
"Pagi, Kak," sapa Gracio sambil menghampiri Shania yang sedang duduk di meja makan, sarapan bersama Keynal.
Pemuda itu dengan sengaja mengabaikan keberadaan sang ayah, Keynal, yang hanya meliriknya sekilas tanpa berkata apa-apa.
"Cio berangkat duluan ya, Kak. Kakak dijemput Bang Boby, kan?" tanya Gracio lembut, berdiri di samping Shania dan merapikan tasnya.
"Iya, kakak sama Bang Boby kok. Tapi kamu gak makan dulu, Dek?" tanya Shania sambil menatap adiknya dengan khawatir.
Gracio menggeleng pelan. "Cio makan di luar aja deh, Kak. Kalo gitu, Cio berangkat duluan ya," pamitnya sambil menyalami tangan Shania dengan lembut.
Shania tersenyum dan mengangguk. "Hati-hati di jalan ya, Dek."
Saat Gracio hendak melangkahkan kakinya keluar, Shania tiba-tiba menahan tangannya, lalu melirik ke arah Keynal yang masih diam di meja makan. Gracio mengerti maksud dari tatapan kakaknya itu—ia tahu Shania berharap ia setidaknya menunjukkan sedikit rasa hormat pada sang papa, meskipun hubungan mereka tengah renggang.
Tanpa banyak kata, Gracio menghampiri Keynal, mengulurkan tangan untuk menyalami ayahnya. Keynal, yang terkejut dengan gestur tersebut, menerima salaman Gracio, meski tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Setelah itu, Gracio langsung berbalik dan beranjak pergi, meninggalkan ruang makan dengan keheningan yang masih menyelimuti.
Shania menghela napas lega, berharap interaksi kecil tadi bisa menjadi awal dari perbaikan hubungan antara Gracio dan ayahnya. Keynal, di sisi lain, hanya bisa menatap punggung putranya yang semakin menjauh, dengan rasa campur aduk di dalam hatinya.
"Sabar ya, Pah. Shania pasti selalu akan bujuk Cio terus kok," ucap Shania lembut sambil menatap Keynal yang terlihat sedih.
Keynal menganggukkan kepalanya perlahan, menyembunyikan perasaan yang tersirat di matanya. "Makasih ya, sayang. Kalo gitu, Papa duluan ya, ada meeting lagi," jawab Keynal, lalu mencium puncak kepala Shania dengan penuh kasih sayang.
Shania tersenyum tipis, meski dalam hatinya ia juga merasakan kesedihan yang dirasakan sang ayah. Ia tahu betapa berat situasi ini bagi mereka semua, terutama Keynal, yang terus berusaha menjalin kembali hubungan dengan Gracio.
"Hati-hati ya, Pah. Jangan lupa, siang nanti Cio ada pertandingan basket," ingatkan Shania dengan lembut.
Keynal mengangguk pelan. "Iya, Papa ingat. Papa akan coba datang kalau nggak ada meeting lagi," ucapnya sebelum melangkah keluar rumah.
Setelah Keynal dan Gracio pergi, Shania berdiri di ruang tengah rumah mereka, menatap sendu ke segala arah. Rumah yang luas, megah, dan dilengkapi oleh berbagai barang mewah itu kini terasa hampa, seolah kehilangan jiwanya. Dulu, tempat ini dipenuhi tawa dan kebahagiaan, tetapi sejak kepergian sang mama, kebahagiaan itu seakan hilang.
"Mah... Shania nggak tahu harus gimana lagi, bantu Shania, Mah," lirih Shania dengan suara pelan, menundukkan kepala dan merasakan perih di hatinya.
Keheningan rumah yang dulunya ramai itu kini menyelimuti dirinya. Meski Shania terus berusaha menjadi penengah dan menjaga keseimbangan di keluarganya, beban itu terasa semakin berat setiap harinya. Hanya doa yang bisa ia panjatkan, berharap suatu hari keluarganya bisa kembali seperti dulu.
Shania melangkah keluar rumah dengan langkah pelan. Di depan gerbang, Boby sudah menunggu dengan mobilnya, bersandar di pintu mobil sambil menatap Shania yang mendekat. Ketika ia melihat wajah kekasihnya yang terlihat murung, Boby segera berjalan mendekat dan menangkup wajah Shania dengan kedua tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEMBAYUNG SENJA (END)
Genç Kurgu"Kamu tau kenapa aku suka liat lembayung?" "Kenapa?" "Karena itu adalah waktu antara batas siang dan malam. Dari situ aku bisa belajar bahwa tidak ada yang abadi. Semua akan berakhir pada waktunya. Datangnya mungkin hanya sesaat tapi kepergiannya se...