bab 11 ☼

99 20 9
                                    

HUJAN deras mengguyur kota Kuala Lumpur sekitar jam tiga pagi. Di saat semua sedang enak diulit mimpi, diselimuti keselesaan yang luar biasa dek hujan, duduknya satu jiwa bertemankan lilin hangat menadah tangan penuh tawaduk kepada Sang Pencipta. Pipi dan pelupuk mata basahnya cukup membuktikan betapa teruknya dia menangis semasa melangitkan setiap bait doanya. Sungguh berharap doa seorang hamba yang hina sepertinya itu dimakbulkan.

"Ya Allah, aku tahu ini adalah ujian buatku namun aku gak tau sama ada aku dapat jalaninya apa tidak. Keluargaku tidak senang, Ya Allah. Diuji dengan keuangan yang semakin hari semakin kurang. Aku gak tau harus apa. Cuman memohon kepadaMu sahaja supaya diberi sedikit kekuatan buat jalanin ujianMu ini." Lagi-lagi air mata Iman tumpah mengucapkan doanya. Sungguh, dia takut sekarang ini tetapi malang sekali, dia cuma hamba kerdil yang tak punya kuasa sehebat Allah. Tiada apa selain doa yang menjadi senjata dan bantuan.

Iman tidak sengaja menangkap keresahan itu meniti di bibir Mak Cik Sakinah beberapa bulan kebelakangan ini. Izz juga sama. Iman diberitahu oleh adiknya itu yang ayahnya sudah tidak mengirimkan wang kepada mereka sekeluarga lagi.

Sebagai abang sulung, Iman tentulah runsing. Mana dengan sekarang ini Mak Cik Sakinah sering sakit. Duit pencen ibu saudaranya itu juga tidak banyak mana. Lama-kelamaan dibiarkan, adik-adiknya nak makan apa?

"Aku takut... aku gak bisa jadi abang yang bertanggungjawab buat adik-adikku. Takut kalo mereka gak cukup makan, gak cukup pakai, gak cukup hal-hal lain juga. Aku buntu, Ya Allah... aku sebagai abang, aku mau menjaga mereka sebaiknya. Cara apa lagi aku harus menjaga keluargaku, Ya Rahman? Tolong berikanku petunjuk." Iman galau Terhinjut-hinjut badannya menghamburkan tangis

"Justru, Ya Allah..." Iman berjeda sebentar bagi mengaturkan nafasnya yang memburu. "Terima kasih, buat segala-galanya, Ya Allah. Terima kasih buat beri kesempatan untuk aku bernafas lagi dan jalanin tanggungjawab-tanggungjawab aku. Hanya kepadaMu saja tempat aku berharap, Ya Rahim." Iman menyapu mukanya. Segala doa tadi diharapkan sampai kepada Yang Maha Esa dan suara kecilnya yang sedari tadi menghabiskan hampir lima belas minit berdoa kedengaran.

Mudah-mudahan dikabulkan. Dia sendiri tahu, Allah itu sifatnya Maha Mendengar dan Maha Penyayang. Mustahil Allah akan biarkan harapan hamba-hambaNya bergentayangan begitu saja tanpa diperkenankan?

Iman duduk berteleku di atas sejadah itu usai habis sesi 'curhat'nya bersama Sang Pencipta. Dia termenung, memikirkan beberapa hal yang terkadang itu begitu menganggu jadual tidurnya.

Dia menundukkan kepalanya, beristighfar sekejap. Leka dalam fikirannya sampai sudah jauh menerawang entah ke mana. Haih!

Tak baik berputus asa dari rahmat Allah. Kan, Allah tak akan uji hambaNya lebih dari kemampuan mereka sendiri?

Iman meraup mukanya, melepaskan helaan nafas buat kali terakhir sebelum dia berdiri tinggi pada kakinya. Melipat kain sejadah dan kain pelikat yang digunakannya sebentar tadi.

Dia bergerak ke tilamnya. Belum pun sempat dia melabuhkan duduk, dia terperasankan katil milik Izz kosong penghuninya.

Hairan. Tadi elok saja Izz tidur. Ke mana pula pergi adiknya itu?

Iman keluar dari bilik. Dia mencari kelibat Izz di dapur. Tiada kelibat Izz.

Pergi pula ke ruang tamu.

Dan Iman mendapati pintu utama rumah mereka terbuka luas. Dalam tengah-tengah guyuran hujan yang bertukar menjadi gerimis perlahan, tubuh Izz kelihatan duduk menekup muka pada ambang pintu rumah mereka.

Izz terhinjut-hinjut bahunya, menangis kencang. Iman pun mendekati dan paha Izz ditepuk perlahan, memaklumkan kehadirannya kepada adik itu.

"Kenapa? Ada apa yang menganggu Izz?"

Langit JinggaWhere stories live. Discover now