14. Long Overdue

52 3 0
                                    

"Seokjin, ditunggu sama Pak Namjoon di ruangan."

"Ugh. Apaan lagi sih." Seokjin memaki dalam hati. Semenjak penolakan pengajuannya untuk pindah ke cabang Australia, Seokjin dikembalikan ke posisi manajerialnya.

Disingkirkannya lembaran evaluasi yang sedang dikerjakannya. Dan sambil mendengus ia cepat-cepat berjalan ke arah ruangan Namjoon.

Kesal, tapi sedikit bersyukur juga bisa terlepas sebentar dari rutinitas yang menyebalkan itu.

"Seokjin. Silakan duduk." Namjoon menyapa duluan sewaktu Seokjin masuk ke dalam ruangannya.

Seokjin duduk di sofa, di posisi yang sama persis dengan tempat ia duduk sewaktu Namjoon menolak pengajuannya sebulan lalu. Ia lalu celingukan.

"Cari apa? Nungguin sekretaris saya bawain kopi?"

"Eh? Nggak." Seokjin langsung menunduk malu karena ketahuan.

Namjoon tertawa. "Ini bakalan cepat dan sepertinya juga kamu nggak akan mau berlama-lama disini setelah dengar kabar dari saya."

"Nih." Namjoon menyodorkan sebuah map sambil memberi isyarat buat Seokjin untuk membuka map itu.

Seokjin belum pernah melihat map berwarna putih begini. Ia tidak yakin ini map dari divisi apa. Paling tidak ia tidak menerima map hitam dari bagian keuangan, yang besar kemungkinan artinya ia dipecat.

Di dalam map itu hanya berisi dua lembar kertas. Ia membacanya sekilas. "Eh?" Ia membelalak, satu tangannya menutupi mulutnya.

"Pak, ini beneran?" Suaranya tercekik karena ia ingin menjerit. "Saya dipindah ke Australia?"

Namjoon hanya tersenyum melihat reaksi Seokjin. "Bener kan? kamu pasti pengen langsung lari keluar dan ngabarin pacarmu itu kan?"

Seokjin tertawa, campuran dari tersipu malu dan sumringah karena euphoria. "Terima kasih. A-aku akan buktiin kalau aku bisa bekerja dengan baik dan klien akan puas dengan performa tim kita." Ia sampai lupa dengan formalitas dalam pemilihan kata-katanya.

"Oh itu harus. Kenapa? Karena saya yang mengajukan langsung buat kamu pindah kesana. Kalau performa kamu jelek, saya juga yang kena." Namjoon menunjuk map di tangan Seokjin. "Kamu belum pernah kan melihat ada pegawai yang menerima map warna putih? Karena itu map permintaan khusus. You know lah. Buat orang-orang yang harus dispesialkan."

Namjoon manggut-manggut. "Yep. Spesial. Kayak kamu."

Seokjin menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia tahu kalau seharusnya ia bersikap lebih profesional dari ini, tapi tidak ada gunanya lagi menutupi segalanya dari Namjoon bukan?

"Tapi Seokjin, tetap ada prosedurnya ya. Kamu bisa lihat di lembaran kedua, ada tes proficiency bahasa dan keahlian yang harus kamu penuhi supaya kami bisa keluarkan visa kerja." Namjoon mengangkat tangannya. "Dan kalau kamu gagal, maaf, saya nggak bisa bantu."

"I-iya. Saya pasti lulus. Pak Namjoon kan tahu kemampuan saya seperti apa."

Namjoon terkekeh. "Pokoknya, jangan bikin saya menyesal menunjuk kamu."

"Nggak bakal." Seokjin menjawab mantap, kembali membaca lembaran penunjukan itu dengan dada berdebar.

Tapi dengan cepat kesenangannya surut. Tawanya menghilang dan tubuhnya menegang. Ia teringatkan dulu pernah berada dalam situasi yang sama saat Namjoon pertama mengajaknya berkencan. Kenyataannya, ia dimanfaatkan habis-habisan selama beberapa tahun.

"Tapi, kenapa Pak Namjoon berubah pikiran? Kan kalau dulu pengajuan saya diapprove, Pak Namjoon nggak perlu repot pakai koneksi pribadi begini?"

"Kenapa?" Namjoon menyender santai di kursinya. "Karena seperti yang saya bilang dulu. Kalau melalui jalur resmi, kualifikasi kamu masih kurang buat dipindahkan kesana."

Takeaway Days [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang