13

56 6 3
                                    

Seokjin melambai untuk terakhir kali. Menghela napas panjang, entah sudah untuk yang keberapa kali.

Sosok berjaket merah di kejauhan berkali-kali melirik ke arahnya, melambai, tersenyum. Hanya bibirnya, tapi tidak matanya.

Akhirnya Seoho melambai buat terakhir kalinya, berbalik dan berjalan menjauh. Tidak menoleh lagi. Lama-kelamaan sosoknya tenggelam diantara ratusan orang lain di bandara.

Seokjin menghela napas panjang. menarik topi baseball hingga matanya yang sembab dan berkaca-kaca tidak terlihat siapapun.

Tapi juga supaya ia tidak bisa lagi melihat ke depan, karena pikirannya langsung berkhayal kalau Seoho tiba-tiba membatalkan perjalanannya, seperti di film romantis ia akan berjalan ke arah Seokjin dengan tawa lebar di wajahnya. Lalu ia akan memeluknya, dan berjanji tidak akan pergi meninggalkannya lagi.

Seokjin tertawa kecil menertawai khayalannya sendiri. Kakinya menggesek-gesek lantai tanpa maksud jelas. Tangannya memeluk tubuhnya, mengelus-elus lehernya sendiri, seperti apa yang dilakukan Seoho padanya semalam.

Ia nyaris tidak tidur. Begitu juga Seoho. Ia tidak mengerti kenapa mereka berdua bertingkah seperti tidak akan pernah bertemu lagi, walau sama-sama menyadari kalau perpisahan ini hanya sementara.

Bahkan kalau Seokjin mau, ia bisa saja langsung memvideo call kekasihnya sekarang, dan mencurahkan segalanya. Tapi ia tidak selemah itu.

Tepukan di bahunya membuatnya terlonjak, setetes air mata yang sedari tadi ditahannya menetes ke ujung sepatunya. Tangannya langsung menutupi wajahnya, diam-diam menyeka sisa tetesan lainnya yang berkilau di pipinya.

Senyum jahil pria tegap yang berdiri di sebelahnya membuat perasaannya yang tadi mengharu biru langsung berubah 180 derajat. "Pak Namjoon?"

"Kamu ngapain di bandara?"

"Bapak sendiri ngapain?" Nada suara Seokjin begitu ketus. Lagian ngapain sih Namjoon pakai tanya-tanya padahal dia pasti tau kenapa Seokjin ada disini.

"Saya ada flight sih." Namjoon menarik lengan jaketnya lalu melihat ke Apple watch nya.

"Oh, saya cuma ngantar pacar saya. Sudah mau pulang." Seokjin langsung mau angkat kaki.

Tapi Namjoon lebih cepat, menyambar tangannya. Seokjin refleks berusaha menariknya, tapi Namjoon malah mencengkeram semakin kencang. Seokjin mulai celingukan panik.

"Flight saya masih lama. Awalnya saya mau duduk-duduk di VIP lounge dulu." Namjoon malah menariknya mendekat. "Tapi kebetulan ketemu kamu, kita ngopi dulu yuk? Cafe yang disana itu enak." Tangan satunya menunjuk ke sebuah cafe di kejauhan.

Seokjin mencoba membaca situasi. Cafe yang ditunjuk Namjoon cukup ramai. Dan sikap Namjoon tidak terlihat agresif. Maka Seokjin mengangguk, ia masih butuh pekerjaannya.

Tapi lalu ia menyesali keputusannya saat menyadari cafe yang Namjoon maksud adalah sebuah lounge mewah disebelah cafe ramai yang Seokjin kira ditunjuk Namjoon. Lounge ini begitu sepi.

Seokjin menegakkan punggungnya, ia merasa salah kostum dan kursi kayu bulat dengan bantalan kain halus berbordir pattern klasik ini mengeluarkan suara derit yang membuatnya kaget sendiri setiap kaki-kakinya menggesek lantai.

"Kamu masih suka dengerin jazz, kan?" Namjoon bertanya datar saat waiter berkemeja rapi mengantarkan secangkir kopi panas buat Seokjin dan secangkir teh bunga dengan cookies untuk Namjoon. "Disini, biasanya mereka setel lagu-lagu jazz."

Seokjin hanya tersenyum, lalu meneguk kopinya tanda sopan-santun. Akhirnya ia memutuskan kalau harus dirinyalah yang menghancurkan kecanggungan diantara mereka. "Pak Namjoon, mau kemana?"

"Ke Jerman. Ketemu istri saya."

"Oh. Aku kira..."

"Kami berbaikan." Namjoon memijat keningnya. "Tidak. Tepatnya, mencoba berbaikan."

Cerita mengalir lancar dari bibir Namjoon seakan ia sudah memendamnya selama ini.

"Kamu tau kan kalau ini pernikahan bisnis? Jadi kami sama-sama tau kalau kami punya pacar saat dinikahkan."

"Pacar? Pak Namjoon punya pacar?"

Namjoon tertawa miris. "Lah, kamu nggak tau kalau saya selalu bilang kalau saya ini punya pacar selama kita bareng dulu."

Seokjin melongo, menggeleng pelan.

"Kamu tuh bener ya, polos banget kalau urusan cinta."

"Ya saya nggak tau. Nggak pernah ada pernyataan kalau Pak Namjoon pengen..."

"Intinya kami sama-sama tau kalau kami nggak single. Saya nggak tau pacar dia siapa, dia juga nggak tau yang saya maksud pacar itu kamu." Namjoon memotong omongan Seokjin.

"Anyway, kami sepakat mencoba serius menjalani pernikahan. Tapi you know lah, nggak semudah diomongin."

"Dia balikan, kabur ke luar negeri, terus menggugat cerai lewat pengacaranya."

"Saya kacau banget waktu itu, sampai berusaha maksa balik sama kamu. Saya pikir, si anak magang itu cuma rebound. Saya sempet berkhayal kamu bakalan langsung setuju buat kembali sama saya."

"Ternyata saya salah. Bahkan biarpun dia nyaris ngelakuin kekerasan begitu sama kamu, ternyata kamu tetep pilih dia dibandingkan saya."

"Beberapa bulan saya bener-bener nggak tau harus gimana. Saya benci betapa bodohnya kamu nolak saya. Saya benci betapa senangnya istri saya bersenang-senang sama laki-laki lain." Namjoon meneguk tehnya, berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Tapi yang paling saya benci itu kenyataan kalau saya sendirian."

Ia menghela napas. "Tau-tau minggu lalu istri saya telepon. Dia ngajak rujuk."

"Pak Namjoon langsung mau?" Seokjin bingung. Kemana Namjoon yang begitu penuh ego dan harga diri yang selama ini dikenalnya.

"Pernikahan ini nggak pernah cuma saya dan dia. Ada keluarga kami disini, ada bisnis keluarga besar kami dan pegawai-pegawai kami." Namjoon menghela napas.

Seokjin meneguk kopinya, Bingung kemana sebenarnya arah obrolan Namjoon.

"Ternyata, keputusan dia itu didorong intervensi dari keluarganya. Terutama kakaknya."

"Bikin saya sadar, kadang kesuksesan hubungan cinta itu nggak bisa cuma usaha dari kita sendiri aja. Tapi kadang harus ada bantuan dari orang lain."

Ia melirik cincin yang melingkar di jari manis Seokjin. "Ternyata kalian lebih daripada cuma tinggal bareng ya."

Ia tersenyum lebar lalu bangkit. "Saya udah harus check-in. Sampai ketemu di kantor nanti waktu saya sudah kembali."

Tanpa menunggu jawaban ia melangkah pergi menggeret koper besarnya.

Seokjin mengerutkan kening. Ia sama sekali tidak paham apa sebenarnya yang dimaksud Namjoon dengan curhatnya yang begitu aneh.

Ia mengedikkan bahunya. Kalau boleh jujur, ia tidak lagi peduli pada apapun yang terjadi pada Namjoon.

Dihabiskannya kopinya cepat-cepat. Ia ingin segera pulang dan terus mengirimkan lamaran agar bisa pindah kerja ke Australia.

Dikuceknya matanya, kantuk mulai menyerang. Ya, ia juga butuh tidur. Maka ia langsung beranjak pulang.

〰️〰️💠💠💠〰️〰️

Author's Note:

Namjoon jadi green flag.

Please please please bantuin aku klik vote dan komen yaaa. Cerita ini bener-bener tenggelam di algoritma Wattpad, jadi bener-bener butuh bantuan kalian.

💜 Thank you for reading 💜

Follow Instagram & Twitter aku @ ZeeDooRi. DM aja kalau ingin follback.

Takeaway Days [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang