27. Pour Out

32 2 0
                                    

"Kak!"

Seokjin dengan sigap menangkap kaleng bir yang dilemparkan Seoho. Ia tersenyum, ternyata Seoho masih ingat bir favoritnya.

"Thanks."

"Hm..." Seoho meneguk bir dinginnya. "Haaa... Eenaaak... Segeeerrr..." Ia tertawa kecil menyeka bibirnya dengan punggung tangannya.

Seokjin tertawa kecil. "Haha. Gerah banget sih puncak musim panas gini..."

"Mana deket banget sama laut." Seoho mengibaskan tshirtnya yang lembab. "HOT! HOT!! HOOOT!!!"

"Kayak yang ngomong ya?" Seokjin menyeloroh.

Seoho menoleh kaget, wajahnya merona. "What?"

"Kidding." Seokjin meneguk birnya santai. "Makasih udah nemenin sampai semuanya beres."

"Ah, aku juga nggak ada kerjaan. Udah pasti aku nggak akan lulus semua mata kuliah semester ini, jadi mungkin aku stay dulu disini agak lama."

Seokjin mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan menggeliat. "Besok tinggal nunggu realtor ngukur, lalu hidup baru here I come!"

"Beneran rumahnya mau dijual, Kak? Nggak sayang?" Seoho memandangi rumah kecil yang biasanya hanya ia lihat di drama televisi tentang pedesaan.

Rumah panggung, lantai kayu, pintu geser ke setiap ruang. Halaman luas dengan pohon dan pot-pot tanaman. Gentong-gentong bekas membuat kimchi bertumpuk di pinggiran.

"Nggak. Gue udah nggak ada urusan sama kota ini. Rumah ini juga siapa yang bakal ngurus." Seokjin memutar-mutar kaleng birnya. "Enakan di kota. Gue bisa pacaran, nggak harus mikirin gosip tetangga, kerja sampe mampus." Ia tertawa sendiri mentertawakan dirinya.

Seoho menatapnya dengan raut penuh nostalgia. Lalu ia perlahan menghembuskan napasnya. "Kak Seokjin lebih nggak pedulian sekarang."

"Dan lu jauh lebih serius." Seokjin menjawab tanpa pikir panjang.

Kemaren, segala urusan kremasi ibu Seokjin sudah selesai. Rumah duka sudah ditutup dan dibersihkan. Orang tua Seoho sudah kembali ke Seoul.

Seoho menolak meninggalkan sisi Seokjin. Berkeras menemaninya di rumahnya yang ia ketahui menyimpan banyak kenangan yang berat buat Seokjin.

Sebaliknya Seokjin juga menerima kehadiran Seoho dengan hangat. Ia tahu ia butuh teman bicara, dan seburuk apapun sejarah hubungan mereka, Seoho selalu adalah pendengar yang baik.

Kemaren sore mereka menghabiskan seharian berjalan-jalan, lalu Seokjin memaksa mengajak Seoho memancing sampai mereka bisa melihat matahari terbenam di tengah laut, lalu mengobrol di pinggir pantai sampai hari berganti.

Pagi ini keduanya menyiapkan sarapan berdua, mengurus dokumen-dokumen, dan di malam terakhir di kota ini keduanya duduk bersebelahan di ruang tengah dengan TV menyala menayangkan acara lomba menyanyi.

"Aku cuma nggak suka sekarang Kak Seokjin bau rokok banget." Seoho mengernyitkan hidungnya.

Seokjin mengibaskan tangannya seakan mengirim bau tubuhnya ke Seoho. "Biar lu nggak naksir lagi." Lalu ia kembali terbahak.

Seoho cuma tersenyum kecil. Lalu ia menunduk sambil memainkan rambutnya. "Apa kita semenyenangkan begini dulu?"

"Ohiya, jelas. Kalau lu nggak menyenangkan gue nggak bakal mau balik berkali-kali sama lu."

"Gaslight aku lagi deh."

"Kenyataan itu sih kebanyakan kita putus gara-gara lu."

"Yaaa... Gimana donk... Nggak salah juga sih..."

Takeaway Days [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang