"Bisa nggak lu pergi aja?" Seokjin menunjuk pintu yang terbuka. "Please..."
Permohonannnya dibalas dengan tatapan keras kepala dari Seoho yang menolak melangkah semilimeter pun dari tempatnya berdiri sekarang.
"Keluar gue bilang! Pergi!" Mata Seokjin mulai berkaca-kaca. "Please Ho... Just leave me alone..."
Tapi ia bagaikan bicara dengan tembok yang tidak bergeming. Dengan raungan keras ia terpuruk di lantai, membenamkan wajahnya diantara kedua lututnya. "For once, please respect my wish..."
"Dan apa itu yang Kak Seokjin pengen?"
"Gue mau segalanya antara kita selesai, Ho. Berapa kali harus gue ulang?" Seokjin makin terisak. "Hutang gue udah lunas. Gue lalai ngejaga lu dulu, dan sekarang gue udah dampingin lu sampai kasusnya selesai. Please let me go."
Seoho menghela napas, menutup pintu di belakangnya. Ia membuka mulutnya, tapi lalu membatalkan apapun yang awalnya ingin ia katakan. Digigitnya bibirnya, lalu menunduk dalam.
Seokjin cukup berbaik hati untuk menjaga sikapnya selama sisa konferensi pers. Tidak menolak saat Seoho menggamit tangannya menuju mobil mereka di bawah hujan lampu blitz wartawan. Walaupun di mobil ia beringsut bersandar ke pintu, dan hanya menjawab pertanyaan Seoho dengan gumaman.
Di restoran ia memilih duduk jauh dari Seoho, tapi tetap memasang wajah ceria dan tampil ramah pada semua orang. Walaupun akhirnya ia undur diri lebih cepat dengan alasan ia harus bekerja.
Ia tahu Seoho mengikutinya, tapi ia diam saja. Menunduk dan berjalan cepat-cepat, setengah berlari melintasi stasiun metro yang kosong, disusul sprint menaiki empat lantai ke apartemen barunya.
Tapi segalanya meledak saat Seoho memaksanya untuk bicara di apartemennya. Tenaga Seokjin jauh di bawah Seoho dan ia tidak mampu menarik Seoho keluar. Apalagi, tidak akan ada yang membantu seorang laki-laki yang berteriak-teriak histeris karena bertengkar dengan laki-laki lain.
"Ada yang harus aku bilang ke kak Seokjin."
"Apaan?"
"Maaf."
"Buat?"
"Segalanya."
Seokjin mengangkat wajahnya, menatap Seoho dengan bingung.
Seoho berlutut di hadapan Seokjin. "Selama kita bareng, Kak Seokjin nggak pernah berhenti minta maaf buat apapun. Sementara aku nyaris nggak pernah. Bahkan untuk hal-hal yang jelas-jelas salah aku." Ia membuang pandang. "Aku minta maaf nyembunyiin kondisi aku. Maaf buat semua emotional burst aku. Maaf aku selalu posesif dan curigaan."
"It's okay, Ho. Semuanya udah lewat."
"It's not okay. Maaf aku selalu bikin Kak Seokjin berjuang sendirian buat hubungan kita." Dengan hati-hati digenggamnya tangan Seokjin. "Maaf aku selalu bikin Kak Seokjin nangis. Di tengah malam. Di kamar mandi. Waktu curhat ke Kak Yoongi."
Seokjin tertegun. "Lu tau?"
Seoho mengangguk. "Maaf aku pengecut dan egois begini. Aku bener-bener berusaha sembuh supaya Kak Seokjin nggak kepikiran. Nggak nyangka malah berakhir seperti ini."
"What doesn't kill you makes you stronger." Akhirnya Seokjin lebih tenang. "Both of us. Jadi, mari udahi saja semuanya disini dan mulai hidup baru kita masing-masing."
"Coba aku tanya sekali lagi. Apa itu bener yang Kak Seokjin pengen?"
"Iya."
Tiba-tiba Seoho membetot kemeja Seokjin terbuka hingga kancingnya terlepas. "Kalau Kak Seokjin ingin aku menghilang, kenapa ini masih disimpan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Takeaway Days [COMPLETED]
Fanfiction⚠️ 21+ Underage jangan baca ⚠️ Sequel Dinner Days, bagian terakhir dari Days saga. Tinggal bersama tidaklah semudah yang dibayangkan. Dan saat kenyataan hidup menghantam begitu kencang, Seokjin dan Seoho hanya bisa berharap realita akan sejalan deng...