Chapter 9

244 41 13
                                    

Pantulan diriku tampak jelas dihadapan cermin putih berbentuk persegi panjang. Jariku terus memainkan kristal salju, entah ini menyenangkan. Otakku terasa terus mengoceh. Begitulah jika telah mengalami sesuatu yang asing. Seadainya semuanya berperihal baik seperti Edelweiss.

"Terima apa adanya Hazzel."

Aku menyudahi aktivitas ini ketika tahu seseorang membuka pintu kamarku.

"Sedang bersedih?"tanyanya.

"Tidak Ayah."aku membalikan tubuhku mengarah pada ranjang, duduk dipinggirnya.

Ia melangkah masuk kedalam kamarku. Tubuhnya membungkuk setelah sampai didepanku. Menyingkirkan benang hitam yang menutupi lukaku.

"siapa yang berani melukai putriku?"

Aku tertawa renyah akibat lelucon garingnya. "Seseorang yang tak ingin kukenal."aku membalas gurauannya.

"Aku tidak bercanda manis."ia mengikuti posisi dudukku. "Siapa?"

"Jadi ayah benar-benar ingin tahu?"aku masih tertawa sehingga mataku mulai berbentuk seperti bulan sabit.

"Semua ayah khawatir jika anak perempuannya terluka."

Harusnya aku berhenti tertawa ketika ia menguakkan kalimat itu. Namun aku tetap melindas kalimatnya. Ini untuk menjaga agar suasana tidak terlalu pilu. Aku agak sedih jika mengamati sosoknya. Bagaimana tidak? merawatku tanpa seorang pendamping itu sesuatu yang hebat bukan?

"Ayahh.. Baiklah-baiklah. Lauren yang melakukannya yah."ucapku enteng.

"Lauren? Lauren Westphalen?"Ia mencoba bergurau atau mengorek-ngorek masa laluku.

Entah kenapa nama Lauren selalu menjadi beban bagiku, kecuali adik Ash.
Lauren Westphalen bekas pemangku jabatan dari Greyson Chance lebih jelasnya mantan.

"Bukan, Ayah. Lauren Jauregui, dia murid dari Coach Falkner."

"Fuckner?"

"Falkner Ayah."

"Jadi masalahnya?"

Kenapa harus ditanya sampai akarnya?

"Ia merampas kalungku dan kemudian lari. Tamat."

Aku tahu ini sangat singkat. Lagipula siapa yang mau mengingat seseorang meninju dahimu?

Ekspresi tanda tidak puas tergambar diwajahnya. "Baiklah jika tak mau cerita. Malam Hazzel."ia mencium keningku dan segera beranjak dari ranjangku.

"Malam Ayah."Aku menatapnya saat ia telah berada diambang pintu.

Ia tersenyum dan segera hanyut dari sini.

Sebenarnya aku tidak mau ia meninggalkanku. Tapi karena ini yang terjadi. Yasudah. Tak mungkinkan aku menrengek untuk minta ditemani tidur dengannya atau menungguku hingga tidur. Aku tahu itu karena aku pernah mengalaminya.

———

"Mad..Maddy! Tunggu aku. Kau kenapa?"aku berusaha menjajarkan posisi berjalannya.

Ia berbalik saat tanganku menyentuh pelan pundaknya. Adegan ini membuatku agak kaget ketika melihat wajahnya yang sedang gusar. Ini bukan keinginanku.

"Kau masih mempertanyakaan itu? 'Kau kenapa? Kau kenapa?' apakah kau tak pernah mengerti?"

"Mad mengerti apa? kau sama sekali tak menjelaskan apa-apa padaku."aku terdiam sekejap menunggunya membalas, namun ia sama sekali tak membalas. "Kenapa? perpustakaan? Calum dan aku?"tebakku.

Kini wajahnya teralih kearahku. "Ya Haz, kenapa kau laku—"

"Shhh Shhh tutup mulutmu."telapak tanganku membekap mulutnya, harusnya aku hanya mengacungkan jari telunjuk dan mendekatkan pada bibirnya, tapi aku tak mungkin melakukan sesuatu yang menjijikan terhadap sesama.

My Naughty Dog ⏩ CalumHood//BradleySimpsonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang