9. Spill Dikitlah Mba

1K 61 0
                                    

POV Kumala

“Hari ini saya telah menepati janji saya untuk datang langsung menghadap kedua orang tuamu Mala dan saya juga sudah minta izin. Sekarang apakah kamu mau menjadi pendamping hidup saya, untuk saling melengkapi, menjadi Ibu dari anak-anak saya dan menua bersama.” Ujar Nehan. Kumala seketika memutuskan kontak mata setelah Nehan berbicara. Dan kembali kedua tangan gadis itu saling bertautan.

“Bismillah dengan izin Allah dan restu Ayah, Ibu Kumala terima lamaran Mas Nehan.”

Setelah mendengar jawaban dari Kumala yang membuat sebagian orang yang ada di ruangan itu menghela nafas lega. Karna sebagian orang dalam ruang itu adalah keluarga besar Mas Nehan. Mungkin mereka meresa lega karna tidak siah-siah usaha mereka jauh-jauh datang dari Bandung ke Aceh untuk menemani Mas Nehan melamarku.

“Ma tolong pasangkan cincinnya ke Kumala.” Ujar Mas Nehan sambil memberikan kotak yang berisi sepasang cincin.

Aku pun sedikit memajukan dudukku agar dapat di jangkau Tante Megan yang kebetulan duduk di depan ku. Ketika cincin simple itu terpasang di jariku ada desiran hangan dalam diriku. Aku tidak menyangka hari ini menjadi salah satu hari bersejarah bagiku. Bagaimana tidak, aku di lamar sama orang yang udah mengganggu pikiranku akhir-akhir ini.

“Semoga ini menjadi awal yang baik.”Ujarku dalam hati.

Tante Megan juga memakaikan cincin di jari Mas Nehan sebagi perwakilan karena aku dan Mas Nehan belum bisa bersentuhan secara langsung. Setelah acara pasang cincin, aku dan Mas Nehan saling bertatapan dan kami berdua saling melempar senyum. Tak bisa kupungkiri rasa habagiaku hari ini.

Setelah itu Ayah mengajak para laki-laki untuk sholat berjamaah di masjid karena azan dzuhur sudah berkumandang. Sedangkan para perempuan melaksanakan sholat berjamaah di rumah.

Tepat jam satu siang kami pun memulai sesi makan siang yang kali ini meja makan terlihat sangat penuh hingga harus mengambil meja kursi dari kamarku yang bisa ku gunakan untuk belajar dulu.

“Wahhh ini Soto Betawinya enak banget, bumbunya medok tapi yang ini pas. Ini buat sendiri?” Tanya tante Megan dengan senyum yang manis menurutku.

“Iya Tante ini buat sendiri.”

“Tapi ini rasa sotonya kaya yang di restoran-restoran betawi kan Pa?” Pertanyaan Tante Megan hanya di balas aggukan oleh sang Suami.

“Dulu saya perna 3 tahun kerja di rumah makan betawi. Jadi, banyak dikitnya saya tau resep makanan khas betawi.” Ujar Ibu.

Semuanya kembali hening dan hanya terdengar dentingan sendok yang saling bersautan. Setelah selesai makan aku mulai membereskan meja makan yang di bantu dengab sepupuh-sepupuh Mas Nehan.

“Kalau bosen itu di belakang rumah ada gubuk kecil kalian bisa datang kesana nanti Mba nyusul.” Ketiga sepupu Mas Nehan pun menganggu dan segera bergegas menuju gubuk yang di maksud.

Maksud Kumala menyuru sepupu Mas Nehan bukan untuk mengusir mereka tapi dari yang aku lihat mereka sedikit suntuk dan itu semua terbaca dari raur wajah mereka.

Di sini lah sekarang Kumala dan Mas Nehan yang masih ingin mulai berkutat dengan cucian piring yang sebenarnya tidak terlalu banyak menurutku.

“Kita bagi tugas, saya yang menyuci kamu yang bilas biar lebih cepat.” Ujar Mas Nehan sambil menggulung baju batiknya sampai siku.

“Lohh gak usah Mas aku aja yang bersihkan Mas duduk aja atau nyusul mereka.”

“Gak papa kan saya udah terbiasa juga mencuci piring kalau di apartemen sendirian.” Aku hanya menganggukan kemudian kami berdua mulai mencuci piring bersama dengan Mas Nehan yang mencuci aku yang membilas piring sesuai yang di bilang Mas Nehan.

Rumah Kita -END-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang