ENAM

657 37 0
                                    

Reiki menjatuhkan sebungkus permen di atas kepala Riana yang berjongkok di bawah jendelanya. Adiknya itu tampak tak peduli pada air hujan yang membasuh tubuhnya dengan leluasa.

Riana menendang dan menginjak permen itu sebelum mendongak, memberikan tatapan setajam laser pada Reiki.  

"Terus lo maunya kayak gimana?" Reiki mengusap wajahnya frustrasi.

Sudah sepuluh menit Riana menangis sambil berjongkok di luar jendelanya. Seragamnya kusut dan basah kuyup. Rambutnya lepek dan berantakan. Apalagi kondisi cuacanya sangat mendukung. Orang-orang yang melihat Riana pasti mengiranya sebagai anak tiri yang teraniaya.

Riana terus bertanya ke mana kakak kesayangannya pergi malam-malam begini. Dia sempat meminta Reiki menelepon Kevin tetapi mereka berdua mendengar dering telepon yang bersumber dari dalam kamar Kevin.

Ke mana Kevin pergi hingga selarut ini tanpa membawa ponselnya? Tangis Riana semakin histeris, membuat Reiki semakin bingung harus berbuat apa.

"Maunya apa sih?" Reiki menuangkan lebih banyak permen ke pangkuan Riana. "Nih makan permen."

"Kamu bisa diem nggak?" bentak Riana.

"Lo yang diem! Makin lama makin kenceng nangisnya. Lo mau kedengeran Ayah?"

"Emang dia punya kuping? Toh, setiap aku ngomong nggak pernah ditanggepin," cibir Riana.

"Nih anak bener-bener ya!" Ingin rasanya Reiki menggeplak kepala adiknya yang kurang ajar itu. "Gue bukain pintu belakang, lo masuk ya?"

"Kak Kevin ke mana?" Sudah puluhan kali kalimat tanya itu keluar dari mulut Riana, membuat Reiki lelah mendengarnya.

"Udah dibilang nggak tau!" Reiki terkejut saat suaranya terdengar lebih kasar dan keras daripada yang diharapkannya.

Riana mendongak, menatap Reiki seolah dia baru saja memukulnya dengan Mjolnir—palu Thor yang merupakan salah satu superhero Marvel. Riana tampak begitu tersakiti dan terdzolimi.

Wajar saja. Meskipun dimarahi Darma sudah seperti rutinitas hidup bagi Riana—dan juga kedua kakaknya tentu saja—tetapi Darma tidak pernah memarahi anak-anaknya dengan bentakan dan suara keras. Darma lebih cenderung mengancam dengan suara rendah dan wajah tenang. Yang anehnya justru lebih menakutkan.

Tentu saja Riana terkejut saat seseorang membentaknya seperti sekarang ini.

"Adikku sayang, kakak bukain pintu belakang ya? Masuk yuk, cantik?" Reiki berusaha terdengar manis meskipun dirinya merasa geli sendiri.

"Apa sih? Mau muntah dengernya!"

"Ya terus maunya gimana?" geram Reiki lelah. "Ngomong keras dikit dikira ngebentak, dibaik-baikin malah mau muntah. Ribet banget jadi manusia. Dasar manja!"

"Dasar preman!" balas Riana tidak mau kalah. "Hobinya tawuran, bolos sekolah, balapan liar, suka nongkrong sama orang nggak jelas. Udah nggak kehitung berapa kali Ayah bolak-balik ke kantor polisi buat ngurusin kamu!" 

"Enak aja ngatain gue preman. Emang gue pernah malak lo?"

"Sering!"

Our (Happy) Little FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang