DELAPAN

622 34 2
                                    

[Clara IPA-1]

Morninggg.

Mau breakfast bareng? Sambil bahas kerja kelompok bindo?

Kevin menghela napas berat setelah membaca pesan itu. Ia langsung menyimpan ponselnya di bawah bantal karena tidak berniat untuk membalasnya.

Dengan tubuh terbaring lemas di atas kasur, Kevin menutup matanya rapat ketika rasa nyeri menjalari seluruh tubuhnya dan perih pada luka bakarnya menyiksanya semakin hebat. 

Kevin mengamati lengannya yang masih terbalut kain kasa selama beberapa menit sembari termenung.

Suara ketukan pelan di pintu kamarnya sanggup membuatnya tercekat. Matanya menatap ke arah pintu seolah tahu siapa orang yang berada di seberang sana. Riana tidak boleh melihatnya dalam kondisi seperti ini.

Setelah selesai menyampirkan handuk untuk menutupi lengannya, Kevin pun membuka pintu. Ia menghela napas lega setelah tahu bahwa yang berada di hadapannya kini bukanlah orang yang ada dipikirannya.

"Nggak sampe diamputasi ternyata," celetuk Reiki sembari mengamati lengan Kevin yang sengaja ditutupi dengan handuk.

"Besok-besok bakal diamputasi beneran kalo kamu bikin masalah lagi."

"Nggak bakal kejadian kalo kamu nggak ikut campur," tukas Reiki. "Lain kali nggak usah sok jadi pahlawan."

Meskipun Kevin tidak ikut campur, tetap saka Darma akan menyeretnya masuk ke dalam masalah itu. Menjadikannya kambing hitam pada setiap masalah yang adiknya perbuat. Entah Reiki lupa akan hal itu atau memang dia tidak pernah peduli hingga ia bisa berkata demikian.

"Terus maunya gimana?"

"Urus aja masalah masing-masing. Kalo nggak, kamu bakal kewalahan kalo masih sok jagoan kayak kemaren, soalnya aku lagi pengen ngerusuh."

"Terserah, asalkan jangan sampe ketahuan Ayah. Tau sendiri Ayah kalo marah kayak gimana." Entah seberapa banyak stok kesabaran Kevin hingga masih bisa bersikap tenang menghadapi Reiki.

"Nanti aku mau bakar gedung." Reiki berujar dengan wajah lempeng.

Kevin terdiam lama. "Kenapa?"

"Ayah bener. Aku suka bakar-bakaran, jadi kubakar aja gedung. Daripada bakar rumah."

Kevin bersedekap sambil bersandar pada pintu kamarnya. "Sebaiknya jangan gegabah."

"Lagi kesel, kalo nanti Riana ngajak berantem, bisa-bisa dia yang aku bakar."

"Yaudah bakar gedung aja," putus Kevin cepat saat Reiki membawa-bawa nama Riana dalam rencana jahatnya. "Sendirian?"

"Banyak temennya."

"Gedung apa?"

"Gedung reyot sih, udah lama nggak dipake. Tapi beberapa bulan terakhir dijadiin markas salah satu geng anak sebelah. Ketuanya bikin gedeg, jadi sekalian aja ntar kita ilangin markasnya. Sukur-sukur kalo mereka ikut kepanggang."

Kevin tidak tahu reaksi apa yang tepat untuk menanggapi pikiran liar Reiki yang sudah seperti psikopat. Apalagi dia mengatakannya tanpa ekspresi. Satu hal yang sudah pasti, Kevin tidak akan bisa mencegah atau mengubah jalan pikiran adiknya itu. Semakin dibatasi maka dia akan semakin liar.

Our (Happy) Little FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang