SEMBILAN BELAS

407 30 0
                                    

Malam semakin larut saat Dipta berdiri menghadap Riana dengan napas tersengal. Untunglah Dipta sempat menyusul Riana dan membantu menerangi jalannya dari belakang hingga adik sahabatnya itu bisa tiba di bawah tanpa perlu menggelinding dari tangga.

"Bisa pinjam hape sebentar?"

Dipta terdiam. Ada yang aneh. Entah apa yang gadis itu alami hingga wajahnya kini memucat dan berkeringat dingin. Riana berusaha terlihat santai, namun Dipta bisa menangkap suaranya yang terdengar goyah. Dipta menunduk, menatap tangan Riana yang bergetar tengah terulur ke arahnya.

Sungguh jauh berbeda dengan kesan pertama yang Riana tunjukkan. Jutek, angkuh, dan tak tersentuh. Kini Dipta bahkan melihat mata Riana berkaca-kaca, di dalam sana Dipta menemukan hal baru yang sebelumnya tidak ada di sana. Amarah dan rasa pasrah. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Harus nyewa, kah?"

Dipta buru-buru menyerahkan ponselnya, masih dalam keadaan senter menyala. Dia menoleh saat mendengar langkah kaki dari belakang. Genta berhenti sejenak, setelah melihat Riana sampai di bawah dengan selamat, ia pun putar haluan. Dengan senter dari ponselnya, ia mengitari gedung mencari Reiki ke segala sudut.

"Ar, bisa jemput gue? Abis ini gue shareloc. Hah? Nggak. Ceritanya panjang, nanti gue cerita. Hm, kasian takut pulsanya abis. Oke."

"Sorry kita telat," ucap Dipta kikuk.

"Darah di lantai tiga?" Riana memastikan alasan Dipta berkata demikian. "Sampe rumah bakal aku cek. Kalau Kak Kevin babak belur, biar aku bakar tuh rumah."

Kalimat itu mungkin terdengar sangat kesar jika keluar dari mulut seorang perempuan, apalagi remaja SMA seperti Riana. Tapi anehnya Dipta memaklumi hal itu.

"Bener ternyata."

"Hah?" Riana menoleh, menatap Dipta yang berdiri tidak jauh di belakangnya.

"Lo sama Reiki. Sama-sama bar-bar." Dipta kemudian teringat sesuatu. "Btw, Reiki ilang sih. Lo tau dia di mana?"

"Paling udah diseret pulang sama Ayah." Riana berjongkok. Dia berusaha menyembunyikannya tapi ia melakukan itu karena kakinya terasa lemas.

"Jadi, di atas tadi ada Ayah lo?"

Riana bungkam. Tubuhnya merinding hebat saat mengetahui fakta pahit bahwa manusia brengsek itu adalah ayahnya.

Setelah semua ini, masih pantaskah Darma disebut Ayah? Setelah membuat anaknya hidup terkekang dan sengsara? Setelah mengirimkan monster untuk menggentayangi anak-anaknya? Setelah … membakar darah dagingnya sendiri? Jika orang seperti Darma masih layak menjadi ayah, maka dunia pasti sudah benar-benar gila.

Sikap tenangnya. Mata cemerlang dan tatapan dinginnya. Suaranya yang setenang danau tanpa riak. Wajahnya yang kosong, sekosong kanvas tanpa setitik pun warna di atasnya. Juga setiap gerakan yang teratur dan terencana. Darma bahkan terlalu menyeramkan untuk disebut sebagai manusia.

Kebisuan Riana sudah menjadi jawaban bagi Dipta. Ternyata ayah mereka. Bukankah dia dokter di salah satu rumah sakit besar? Sebagai seorang dokter, bukankah harus memiliki sikap empati dan rasa kemanusiaan? Lalu dokter macam apa yang ditakuti oleh anaknya sendiri sampai separah ini?

"Dalam mitologi Yunani, ada satu kisah di mana—"

"Bisa langsung ke intinya?" potong Riana dingin.

Dipta berdeham pelan. "Jangan gegabah." Tentu saja dia menyinggung Riana yang nekat memasuki gedung seorang diri kemudian berlari menuruni tangga dalam kondisi gelap gulita.

"Oke." Riana lalu berdiri dari jongkoknya. "Sial, banyak banget semutnya."

"Mau ke mana?" tanya Dipta begitu melihat Riana melangkah pergi.

Our (Happy) Little FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang