TIGA PULUH SATU

448 34 7
                                    

Arya memasukkan ponselnya ke dalam saku lalu berjalan ragu-ragu ke teras rumah, di mana Darma sedang duduk sambil memangku laptop. Darma menoleh saat Arya mendudukkan diri di kursi sebelahnya.

“Numpang duduk sambil nunggu Riana, Om.” Arya berinisiatif sendiri karena tahu Darma tidak akan mempersilahkannya duduk. “Sore-sore gini enaknya ngopi nggak sih, Om?”

“Saya nggak suka kopi.” Darma menyahut dengan pandangan lurus ke layar laptop.

“Oh,” cicit Arya sembari menggaruk tengkuknya. “Saya juga nggak suka sih aslinya. Kita mirip dong, Om?”

“Nggak mungkin.” Terlihat jelas bahwa Darma tidak mau dimirip-miripkan dengan Arya.

Arya merengut kecut.

Memang benar buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Tanpa perlu tes DNA, Riana sudah terbukti anak kandung Darma. Terjamin seratus persen karena dua orang itu memiliki sikap yang sama.

Itulah mengapa terkadang Arya heran saat Riana mengatakan ia membenci ayahnya, padahal keduanya sangatlah mirip. Riana sama saja seperti membenci dirinya sendiri.

“Om tau nggak ikan apa yang bisa terbang?”

Riana menutupi wajahnya, malu sendiri dengan tingkah sok akrab Arya. Apalagi dia sudah mengeluarkan jokes bapak-bapak.

“Kalau saya jawab, kamu pergi.”

“Deal. Tapi kalau jawabannya bener,” balas Arya diiringi cengiran lebar.

“Exocoetidae.”

Tuh, kan? Orang sekaku Darma tidak akan bisa menjawabnya.

“Netnot!” timpal Arya meski tidak tahu makhluk apa yang Darma sebut barusan.

“Fregatidae? Cheilopogon pinnatibarbatus californicus? Hirundichthys affinis?”

“Berasa lagi dibacain mantra. Lagian Om nih dokter apa guru Biologi, sih? Jawabnya coba yang lebih fleksibel, Om.”

Darma berpikir keras untuk menemukan jawaban agar bisa segera menyingkirkan Arya dari pandangannya. 

“Nyerah nggak, Om?”

Darma melirik Arya curiga. “Awas aja kalau jawabannya ngawur.”

Arya meneguk ludah dengan susah payah. Meski begitu, ia tetap menjawab karena sudah dalam tahap pasrah. “Ikan yang bisa terbang namanya lelelawar. AHAHA!”

Dengan wajah datarnya, Darma menatap Arya tanpa sepatah kata pun. Pada akhirnya tawa Arya tak bertahan lama setelah merasakan tatapan tajam dan aura dingin terarah padanya.

Arya batuk pelan di tengah situasi canggung. Ia menatap jam di ponselnya dengan berkeringat dingin. Masih beberapa menit lagi sebelum sepuluh menit. Mau tak mau dia harus mencari topik lain untuk menambah durasi.

“Satu lagi. Abis itu saya janji bakal pergi,” ucap Arya berusaha meyakinkan. “Kenapa gajah besar, Om?”

“...”

“Karena kalau kecil namanya gaji," jawabnya sendiri diiringi dengan tawa karir. Tidak bisa begini, ia harus segera mengubah strategi sebelum ditendang pergi. “Kalau dada sesek, jantung jedag-jedug, tangan keringetan, terus perut mules rada pengen BAB itu gejala penyakit apa ya, Om?”

“Banyak. Bisa gagal jantung, krisis hipertensi, pneumonia kronis, emboli paru, asma akut. Tapi paling seringnya sih serangan jantung. Siap-siap aja,” kata Darma santai.

Buset! Padahal gue cuma grogi ngomong sama dia, tapi kenapa diagnosanya kayak gue bakal mati besok, sih?

“Hehe, bahaya juga.” Arya menoleh ke belakang, menatap Riana meminta pertolongan. Ia sudah tidak sanggup.

Our (Happy) Little FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang