TIGA

699 43 0
                                    

Kevin berdiri cemas di depan gerbang rumahnya. Jam tangannya menunjukkan pukul sembilan malam. Dia menempelkan ponselnya di telinga, namun hanya nada sambung yang terdengar selama belasan kali ia mencoba menelepon Riana.

Menelepon Arya pun sama saja. Meskipun tersambung tapi tak kunjung diangkat.

Siang tadi, Riana sempat mengabari lewat pesan bahwa ia akan menonton bioskop dengan Arya. Bahkan Riana mengirim fotonya bersama Arya yang sedang makan di foodcourt. Namun kala itu Kevin tidak sempat membalas karena ponselnya keburu mati kehabisan baterai.

Dan sampai selarut ini, Riana masih belum pulang dan tidak bisa dihubungi.

Meskipun Riana pergi bersama Arya yang sudah seperti keluarga karena mereka berteman sejak kecil, tetapi Darma tidak akan menerima alasan apa pun jika mendapati salah satu anaknya tidak berada di rumah saat ia pulang bekerja.

Hal itulah yang membuat Kevin gelisah. Satu jam lagi Darma pulang. Dan jika saat itu Riana masih belum berada di rumah, mereka pasti akan terkena masalah.

Kevin melihat ke arah garasi. Menyadari motor adik laki-lakinya tidak berada di sana, Kevin pun tiba-tiba merasa beban di pundaknya semakin bertambah berat.

Kali ini ia menelepon Reiki. Setelah dua kali percobaan, suara Reiki di seberang sana sudah cukup membuat Kevin sedikit bernapas lega.

"Lagi di mana?"

"Party coy!" Suara Reiki teredam oleh bisingnya musik dan riuh rendah percakapan.

"Rei, jangan aneh-aneh!"

"Hah? Apa? Nggak kedengeran!" balas Reiki berteriak demi mengalahkan suara musik yang masih berdentum nyaring. "Mending ngomong langsung sini. Biar sekalian party bareng," tawanya terdengar samar-samar.

"Cepetan pulang sebelum kakak jemput!"

"Kayak anak SD aja jam segini dijemput pulang. Bentar lagi lah, masih nanggung. Minumannya belum abis nih."

Mendengar kata minuman, Kevin langsung menekan tombol video call di layar ponselnya. Namun Reiki menolaknya.

"Kamu berani macem-macem, kakak datengin tempatnya sambil bawa polisi," ancam Kevin serius.

"Pak pulici, culik aku dungs."

"Kalo kamu nggak di rumah setengah jam sebelum ayah pulang, liat aja apa yang bakal ilang besok pagi."

"Apaan tuh yang ilang?" Tawa Reiki meledak di seberang sana. Suara nyaring yang sedari tadi mengguncang gendang telinga akhirnya berangsur-angsur mereda. "Bukan nyawa aku kan?"

"Nggak lagi bercanda, Rei."

"Aduh, ribet! Iya-iya, ini mau pulang."

"Sepuluh menit harus nyampe rumah."

"Oke, bawa motornya ntar pake kecepatan cahaya."

"Dua puluh menit," ralat Kevin. "Jangan ngebut-ngebut." Sambungan telepon pun terputus.

Kevin menatap rumahnya cukup lama. Rumah besar itu tampak dingin membisu, seolah tidak pernah ada kehidupan di dalamnya. Malam, siang, pagi, tidak ada bedanya. Rumah itu selalu sepi dan tak bernyawa. Entah kenapa mengingat itu membuat perasaan Kevin menjadi tidak nyaman.

Our (Happy) Little FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang