DUA PULUH LIMA

473 28 2
                                    

“Halo.”

Pagi ini Riana diperbolehkan pulang. Dia sedang duduk di lobi rumah sakit sembari menunggu surat kepulangannya selesai diurus. Dan saat itulah seseorang menyapanya.

“Kamu udah mau pulang?”

Riana tidak tahu kalimat apa yang tepat untuk merespon sapaan dari orang gila yang kemarin memeluknya. Berbeda dengan penampilannya kemarin, pria itu kini tampak rapi seperti orang normal pada umumnya.

“Saya minta maaf karena kejadian kemarin. Saya nggak bermaksud bikin kamu kaget.”

“Om beda banget sama kemarin," komentar Riana merasa takjub.

Pria itu tersenyum. “Manusia selalu punya satu sisi yang pengen disembunyiin dari orang lain. Jadi saya harap kejadian kemarin jadi rahasia kita aja, oke?”

Riana mengangguk.

Dilihat dari atas sampai bawah, semua yang pria itu kenakan berasal dari brand terkenal. Sepertinya dia orang yang cukup penting. Kejadian kemarin pasti akan merusak reputasinya. Cukup masuk akal jika dia ingin merahasiakannya.

“Kamu mirip ibu kamu.”

Riana menoleh dengan raut terkejut. Perasaannya campur aduk antara senang dan bingung karena tidak ada satu orang pun yang pernah membahas hal itu secara gamblang kepadanya.

Lalu tiba-tiba ada orang asing yang mengatakan bahwa Riana mirip dengan ibunya. Ibu yang bahkan tidak pernah ia lihat seumur hidupnya.

“Om bilang apa?”

“Mata kamu, hidung kamu, rambut kamu. Bener-bener mirip. Dia pasti seneng liat kamu sekarang.”

“Om kenal ibu aku?” Riana bertanya tidak sabar.

“Darma nggak pernah cerita tentang ibu kamu?” Pria itu tampak terkejut.

Riana menggeleng kuat. “Om bener-bener kenal ibu aku? Beneran?”

“Om sama ibu kamu dulu lumayan dekat. Namanya Lentari. Lentari Arum.”

Riana menutup mulutnya dengan tangan bergetar. Aneh memang. Riana kecil yang bahkan tidak menangis meskipun jatuh dari tangga, kini dengan mudahnya dibuat menangis hanya karena mendengar nama ibunya.

“Namanya bagus banget,” timpal Riana dengan suara bergetar. Setengah menangis setengah tertawa.

“Nama kamu nggak kalah bagus kok,” imbuh pria itu dengan tawa kecil. “Saya nggak nyangka kamu bahkan nggak tau nama ibu kamu sendiri. Seharusnya Darma lebih terbuka sama anak-anaknya.”

“Terus sekarang Om tau nggak ibu aku masih hidup atau enggak?” tanya Riana penuh harap.

Belum sempat pria itu menjawab, sebuah suara lebih dulu menginterupsi. Sontak membuat keduanya menoleh ke arah sumber suara.

“Riana!” Darma berjalan cepat menghampiri Riana dan langsung menarik tangannya. “Ayo pulang.”

“Saya masih belum selesai ngobrol sama Riana loh.” Pria itu menyahut. Dia berbicara santai seolah keduanya adalah teman lama.

“Nggak ada yang nanya,” ujar Darma dingin.

“Cuek banget, sih. Pantesan Lentari—”

“Satu kata lagi keluar dari mulut kamu, saya pastiin kamu bakal nyesel,” potong Darma. “Bisa balik ke bangsal gangguan jiwa sendiri, kan? Apa perlu saya panggil perawat?”

Pria itu hanya menanggapi dengan senyum kecil saat melihat kepergian Darma dan Riana.

Setelah tiba di tempat parkir, Riana akhirnya berhasil melepaskan tangannya dari Darma.

Our (Happy) Little FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang