DUA PULUH

477 38 0
                                    

Berhubung bab sebelumnya votenya lumayan gercep, jadi hari ini update lagi yeay. Met baca man-teman.

꧁꧞꧐꧞꧂

"Kenapa?" Darma berdiri dengan menyilangkan tangan di depan dada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kenapa?" Darma berdiri dengan menyilangkan tangan di depan dada. Harris baru saja merapikan dokumen di atas meja saat Darma datang ke ruangannya. 

"Saya kan bilang ke sininya nanti kalau pulang," celetuk Harris. Dia langsung mengoreksi kalimatnya saat Darma berbalik dan membuka pintu. "Iya-iya, udah tua masih aja baperan. Duduk." Ia menunjuk ke arah satu set sofa berwarna broken white di tengah ruangannya.

Tidak seperti yang diminta sang empunya ruangan, Darma malah rebahan sambil meluruskan kakinya di lengan sofa. Matanya terpejam, napasnya teratur, sampai Harris mengira temannya itu sudah tertidur. 

"Mau minum?" Harris mencolek lengan Darma. 

"Kopi."

"Pengen nggak tidur semaleman?"

"Kalau gitu jangan nanya," gerutu Darma masih dengan mata terpejam. 

"Teh aja gimana?" tawar Harris memberi solusi. 

"Nggak mau."

"Jus?"

"Enggak."

"Baygon?"

Darma membuka mata, menatap Harris seolah dia orang gila. "Gimana bisa orang kayak gini jadi dokter," gumamnya sambil kembali menutup mata. 

"Dasar nggak tau diri," gerutu Harris. Ia lalu meletakkan dua gelas di atas meja. Satu air putih, dan satu lagi kopi. "Kopinya jangan diminum. Kamu suka aromanya aja, kan?"

Harris duduk di hadapan Darma. Ia membawa segelas kopi di tangan kanan, dan secarik kertas di tangan kiri. Harris mengamati kertas itu cukup lama sebelum menghela napas dan meletakkannya di atas meja. 

"Bisa duduk dulu selagi ngomong sama saya?" tanya Harris cukup serius. Sangat jarang melihatnya seserius ini, karena saat mengobati pasien pun ia sering bercanda. Tapi kali ini dia benar-benar mencemaskan temannya itu. 

"Gini aja kenapa, sih? Toh saya nggak mendadak tuli kalau tiduran."

"Bener-bener ya nih orang! Duduk nggak?" ancam Harris sambil mengacungkan pulpen.

Darma berdecak. Ia beringsut duduk sambil memasang wajah malas. 

"Semalam kamu tidur berapa jam?" tanya Harris memulai pemeriksaaannya. 

"Nggak tau."

"Nggak tidur?" tebak Harris yang tidak mendapat sanggahan dari Darma. Ia mencatat sesuatu di atas kertas. "Mimpi buruk lagi?"

Darma terdiam, mengamati uap tipis yang menari-nari keluar dari gelas kopi. Dulu dia sangat menyukai kopi. Aromanya yang kuat, rasanya yang pahit, dan sensasi hangat saat menyentuh mulutnya. Dan di atas semua itu, yang terpenting adalah kopi membantunya tetap terjaga. Agar ia tidak tidur, agar mimpi itu tidak bisa menghantuinya. 

Our (Happy) Little FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang