TIGA PULUH LIMA

342 26 2
                                    

Target bab sebelumnya belum tercapai tapi gapapa. Ini bentuk permintaan maaf aku karena jarang update.

Maaf aku gak bisa rajin update karena bagi aku nulis satu bab itu butuh berhari-hari. Aku baca berulang-ulang untuk mastiin semuanya udah pas. Karena aku hati-hati banget sama setiap bab yang akan aku up.

I try to make each chapter the best it can be so you can enjoy reading it.

Makasih buat temen-temen yang udah baca dan suka cerita ini. I never thought my first story could get this much love from you guys.

Love you⊹♡

꧁꧞꧐꧞꧂

Reiki duduk kaku sambil meremas kuat lututnya. Dia mengingat kembali setiap barang yang ia sentuh di dalam ruangan kerja sang ayah. Mungkinkah Darma menemukan sidik jarinya di sana? Reiki menggeleng, mengecek sidik jari tentu sangat berlebihan.

Tetapi Darma tidak mungkin mengajaknya bicara hanya untuk basa-basi. Pasti ada sesuatu. Atau mungkin dia menyadari potongan koran itu hilang? Sudah Reiki duga, secarik kertas itu mampu membahayakan nyawanya.

Helaan napas berat yang dari waktu ke waktu terus keluar dari mulut Reiki membuat Kevin menoleh, tetapi ia memilih tak mengatakan apa pun.

“Kartu ini akan langsung saya bakar kalau kamu berulah lagi.” Darma meletakkan credit card di depan Reiki.

Sesaat, Reiki terdiam. Kirain apaan anjir ngagetin aja, batinnya lega.

Meski merasa diprank, hatinya tetap berbunga-bunga. Akhirnya usahanya belakangan ini untuk menjadi anak alim membuahkan hasil. Kartu yang sempat disita Darma kini kembali ke genggamannya.

“Udah tobat kok,” cengirnya sumringah. “Aku jamin mulai sekarang Ayah nggak bakal dipanggil ke kantor polisi lagi. Kalau gitu, anak soleh ini mohon undur diri.”

Reiki langsung pergi setelah selesai menyemburkan bualan manisnya. Sebelum benar-benar keluar, Reiki sempat menoleh ke arah Kevin.

“Dia bakal diapain lagi kali ini?” Reiki bergumam pelan sebelum menghilang di balik pintu.

Sekarang, di dalam sana hanya ada Darma dan Kevin.

“Keluarin kunci cadangan rumah dan taruh di meja. Mulai sekarang saya nggak mau kamu pegang kunci itu lagi.”

Kevin menatap sang ayah dengan tatapan terkejut, tetapi lidahnya terlalu kelu untuk bersuara.

“Kenapa kaget? Takut nggak bisa keluar-masuk rumah seenaknya lagi?”

Bukan itu yang Kevin cemaskan, tetapi adik-adiknya. Selagi dirinya memegang kunci cadangan, ia bisa membantu Reiki dan Riana untuk diam-diam masuk ke rumah ketika mereka terlambat pulang.

Tetapi jika Darma merampas kunci itu darinya, sudah dapat dipastikan tidak ada kesempatan baginya untuk menghindarkan mereka dari masalah.

“Kurang ajar ya kamu,” cecar Darma. “Jangan kira saya nggak tau kamu selalu pulang malam belakangan ini. Kamu pikir bisa seenaknya di rumah saya?”

Kevin menggelengkan kepalanya yang tertunduk, tidak sanggup bertatapan dengan mata Darma.

“Maaf, Yah. Kevin cuma pergi sebentar sama … teman.” Dia memilih menjelaskan sebelum ditanya agar ayahnya tak menuduhnya melakukan hal yang aneh-aneh.

“Teman?” Salah satu sudut bibir Darma sedikit terangkat. Ia bersandar dengan melipat kedua tangannya di depan dada. “Anak seumuran kamu mungkin lagi seneng-senengnya pergi sama teman. Jalan-jalan. Makan-makan. Gimana rasanya?”

Our (Happy) Little FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang