TIGA PULUH DELAPAN

543 38 13
                                    

Bacanya pelan-pelan ya, lama abisnya kok soalnya 3k kata hehe. Tandai typo pleeeesee.

꧁꧞꧐꧞꧂

“Sial.”

Riana merapatkan kembali pintu kamarnya setelah mengintip situasi di luar. Helaan napasnya terasa berat setelah mendapati Kevin masih duduk di ruang tengah dan entah kapan kakaknya itu akan beranjak dari sana.

“Hape gue pake acara ketinggalan segala,” sesal Riana teringat benda itu ia letakkan di sofa ruang tengah saat membangunkan Reiki. “Tuh anak ke mana coba? Giliran lagi dibutuhin gini malah ngilang.”

Perhatian Riana beralih pada lemari. Langit sudah gelap tetapi orang di dalam sana masih belum bisa pergi. Bahkan hingga kini Riana masih tak percaya dirinya menyelundupkan seorang cowok ke dalam lemarinya.

“Dia bisa napas nggak sih di dalem situ? Dari tadi adem ayem aja, jangan-jangan dia pingsan kehabisan oksigen.”

Riana bergegas mengetuk pelan pintu lemari. Ia baru bisa bernapas lega saat mendengar ada pergerakan.

Kepala Dipta sedikit menyembul dari dalam lemari. Dia tampak kesulitan duduk di atas tumpukan baju Riana. “Gimana?”

“Kak Kevin masih di depan,” keluhnya. “Kak Dipta bisa nggak turun ke lantai satu tapi nggak pake tangga? Soalnya tangganya kelihatan jelas dari ruang tengah.”

“Bisa,” angguknya dengan wajah lempeng. “Tapi patah tulang.”

“Lompat dikit doang masa nggak bisa? Katanya Kak Dipta ketua klub taekwondo?”

“Nggak ada hubungannya, Riana. Taekwondo itu bela diri, bukan cosplay ninja warrior.”

“Terus gimana?”

“Tunggu aja. Gue udah hubungin Reiki. Katanya dia punya ide.”

Informasi itu tidak membuat Riana lega. Ia justru merasa was-was. Ide gila apa yang kali ini Reiki rencanakan?

“Gue boleh keluar nggak? Sesek,” ujar Dipta dengan wajah memelas.

Riana meyakinkan diri bahwa Kevin tidak mungkin nyelonong masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Berbekal pemikiran itu, Riana pun mengangguk ragu.

Hal pertama yang Dipta lakukan setelah keluar adalah melepas jaketnya, membiarkan tubuhnya hanya dibalut dengan kaos hitam tanpa lengan. Dia lalu duduk bersila di lantai, bersandar pada lemari, tepat di samping Riana.

Mata Riana membulat sempurna melihat pemandangan itu. Ia beringsut menjauh. “Pake lagi nggak jaketnya!”

“Gerah.” Dipta adalah tipe orang yang gampang kepanasan, terlebih lagi ia cukup lama berada di dalam lemari yang sempit itu. Tubuhnya pun mulai kesemutan.

Riana meraih remote AC dan menurunkan suhunya hingga mentok, yaitu 16 derajat. “Tuh, udah dingin! Pake sendiri jaketnya atau aku bungkus pake sprei?”

Dipta tertawa pelan. “Kenapa sih emang? Baru gini doang nggak telanjang.”

“Hitungan ketiga aku gebukin guling ya!”

“Iya-iya, ini dipake.”

Sebenarnya Dipta masih merasa gerah, tetapi karena Riana merasa tidak nyaman maka ia mengalah. Toh suhu di kamar ini menurun dengan cepat berkat AC.

Ketika Dipta hendak memakai jaketnya, lewat ekor matanya Riana bisa melihat bahu Dipta yang dibalut kain kasa. Kulit di sekitarnya tampak kemerahan, sangat kontras dengan kulit putih bersih milik cowok itu. Riana tanpa sadar menatapnya cukup lama.

Our (Happy) Little FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang