DUA PULUH EMPAT

498 29 0
                                    

FLASHBACK

"Terus imbalan saya?"

"Saya bakal ngelakuin apa pun yang Dokter mau."

"Apa pun?" Sonya tampak tertarik saat mengenali seragam yang dikenakan Kevin. Saat itulah ia yakin bahwa dialah Kevin si tokoh utama dari setiap cerita sang adik. "Jadi kamu orangnya."

Alis Kevin bertaut tanda tidak mengerti.

"Kamu pasti kenal Clara, kan? Dan kamu pasti juga tau kalau dia naksir kamu sampe ugal-ugalan."

"Bentar. Kenapa tiba-tiba Clara?"

"She's my sister," jawab Sonya cukup mengejutkan Kevin. "Jujur saya bosen denger Clara ngeluh soal cowok yang dia suka. Yang cuek lah, dingin lah, nggak peka lah, anti romantis lah. Terus ujung-ujungnya ngegalau. Kamu ngerti kan maksud saya?"

Tentu saja, dia tidak bodoh. Hanya saja, Kevin tidak yakin ia bisa melakukannya. "Saya nggak ahli masalah begituan."

"I know. Ngga perlu ahli kok, coba aja dulu. Gimana?"

"Bukannya dia bakal marah kalau tau saya tiba-tiba deketin dia karena hal kayak gini?"

Sonya terdiam, matanya sedikit meredup.

"Seminggu lagi peringatan seribu hari mami dan papi kami pergi. Saya mau dia bahagia, at least sampai hari itu terlewati." Sonya menetralkan ekspresinya dengan cepat. Ia tersenyum. "Bisa, kan?"

Meskipun Kevin dan Clara adalah teman sekelas, tapi Kevin baru mengetahui bahwa gadis ceria itu ternyata seorang yatim piatu. Kevin sebenarnya ingin merasa iba tapi kehidupannya pun tidak lebih baik meskipun ayah mereka masih hidup. Lebih baik Kevin mengasihani dirinya sendiri.

"Kalian nggak perlu pacaran, tenang aja. Cukup temenin dia dan jangan cuekin dia lagi. Haha."

"Saya bakal berhenti ngelakuin itu saat saya udah nggak butuh informasi lagi dari Dokter."

꧁꧞꧐꧞꧂

"Lo ke sini cuma numpang makan, ya?"

Saat ini, Riana dan Arya sedang duduk selonjoran di atas karpet sambil menonton televisi.

Kamar VVIP memang memiliki fasilitas yang lengkap. Mulai dari televisi, kulkas, satu set sofa, kamar mandi dalam, dan bed pasien yang nyaman dan lega. Jika bukan karena suasananya yang senyap, pasti Riana lumayan betah di sini.

Mendengar sindiran Riana, cowok yang masih mengenakan seragam sekolah itu hanya nyengir. "Gue icip dulu siapa tau beracun."

"Beracun pala lo!"

"Sstt, jangan teriak-teriak. Nanti megap-megap lagi loh," ejek Arya yang sedetik kemudian mendapat headshot. Dia mengaduh lalu tertawa. "Kangen nggak sih lo sama gue? Kita kan akhir-akhir ini jarang ketemu."

"Lo kan sekarang jadi seleb sekolah. Mainnya sama kapten basket, ketua OSIS, anak futsal, klub fotografi, udah nggak level sama anak cupu kayak gue."

"Iya, sih."

"Kok iya sih?"

"Iya, deh."

"Sat! Keluar lo dari sini." usir Riana emosi.

"Papa bilang gue udah harus perluas koneksi. Biar nanti di dunia kerja jadi gampang atau apalah." Arya mengangkat bahu. "Kalau mainnya sama lo terus, mana bisa gue berkembang?"

"Berkembang? Mau jadi adonan donat, lo?" Riana berkata acuh tak acuh seraya menatap lekat layar televisi yang sedang menayangkan film Harry Potter.

"Ah berisik, rasengan!" Arya menyerang Riana dengan salah satu jurus dari Naruto.

Our (Happy) Little FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang