SEPULUH

535 35 0
                                    

"Bagus juga sih, kita jadi tau kalo ayah Riana ternyata dokter terkenal. Jadi tau deh kenapa dia sombong banget." Winola tersenyum sinis sambil memainkan ujung rambut panjangnya. "Tinggal ibunya aja nih yang masih ghaib."

Ibu?

Sesaat, Riana membeku. Darahnya berdesir sebelum rasanya berhenti mengalir sepenuhnya.

Kata ibu terdengar begitu asing di hidupnya, rumahnya, bahkan dunianya. Bagaikan dongeng peri yang terlalu sukar dipercaya.

Lalu kini, sejak enam belas tahun hidupnya, ada seseorang yang berani menyinggung tentang ibunya. Topik yang bahkan tidak pernah disentuh oleh seorang pun di rumah mereka.

"Ah, kalian kasihan nggak sih sama Riana?" tanya Hilda ditujukan kepada seisi kelas. "Dia nggak tau loh ibunya siapa, liat wajahnya aja nggak pernah tuh. Even di internet, nggak ada satu pun informasi tentang istri dokter Darma. Terus Riana lahir dari rahim siapa dong?"

"Udah bisa ditebak lah kalo yang gini-gini mah." Yasa ikut nimbrung, sudut bibirnya terangkat sebelah. "Pasti Riana dan kakaknya lahir dari perempuan jalang aka pelacur. Bisa jadi, mereka bertiga lahir dari tiga pelacur yang berbeda."

"Beneran nggak ada informasinya di internet, loh. Apa sengaja dihapus, ya?"

"Kalo sengaja dihapus pasti malu-maluin dan aib, ya kan?"

"Tragis banget, haha!"

"Wah, berarti ibunya masih jadi misteri dunia dong. Haha!"

"Apa jangan-jangan mereka anak angkat? Kalo iya, parah banget sih. Belagunya bukan main tapi ujungnya cuma anak nemu."

Bisik-bisik sumbang mulai terdengar dari seisi kelas.

Winola, Hilda, dan Yasa kompak tertawa.

Riana tidak akan membiarkan mereka menyelesaikan tawa mereka.

BRAK!

Seisi kelas sontak riuh. Beberapa meja kosong terdorong menjauh akibat tendangan Riana, membuat Yasa yang sedang duduk di atas meja tersungkur ke lantai. Sementara alat makeup Hilda berserakan dan pecah, berhasil membuat cewek itu histeris.

Di sisi lain, Winola masih berdiri tegak dengan mempertahankan senyum lebar. Merasa puas karena berhasil memancing emosi Riana yang terkenal jutek.

"Berani ngomong satu kata lagi, gue jahit mulut lo," jedanya tersenyum merendahkan. "Atau lo bisa jahit mulut lo sendiri pake mesin jahit bokap lo. Gimana, udah berapa baju sobek yang udah dia jahit?" cibirnya pada Yasa. "Baju sobek mah dibuang, beli baru. Dasar kere!"

Mereka bilang Riana anti sosial, sombong, mentang-mentang ayahnya adalah dokter terkenal. Sekarang, Riana akan mewujudkan perkataan mereka. Dia akan menunjukkan bagaimana sombong yang sebenarnya.

"Anak kayak lo bener-bener nggak guna! Di sekolah sok sultan, bokap lo tuh di rumah sampe berdarah-darah kena mesin jahit. Kalo miskin, minimal tau diri."

Riana benar-benar tidak peduli jika setelah insiden ini ia akan dihujat habis-habisan, dijauhi, atau bahkan dikucilkan.

Mental Riana sudah terasah sejak dini. Apa pun yang mereka lakukan tidak akan berdampak padanya. Bahkan tidak akan mengusik sehelai pun rambutnya. Maka dari itu, mereka bebas membencinya dengan cara apapun.

Our (Happy) Little FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang