DUA PULUH TUJUH

486 30 3
                                    

“Liat deh komuknya Dipta. Adek lo ngomong apa anjir sampe tuh anak bengong begitu?” Genta tertawa terpingkal-pingkal.

Reiki memotret momen itu dengan ponselnya sembari tertawa tak kalah keras dari Genta.

“Anjay kocak bener. Tampangnya kayak koruptor lagi keciduk KPK,” celetuk Reiki.

Reiki tidak salah. Memang begitulah ekspresi Dipta saat ini. Antara kaget, bingung, dan sedikit panik. Beberapa menit ia hanya bengong hingga membuat Riana kebingungan.

Nih orang tiba-tiba keinget cicilan apa gimana, batin Riana heran.

“Kak?” Riana mengibaskan tangannya di depan wajah Dipta.

Dipta mengerjap lalu menggaruk kepalanya. “Hah, apa? Lo tadi ngomong apa?”

“Ayo. Kita. Pacaran.” Riana sengaja memberi penekanan pada setiap kata.

“Kenapa tiba-tiba ngomong gitu?”

“Nggak tiba-tiba kok. Aku udah mikirin dari lama.”

Bohong. Ide itu muncul beberapa detik yang lalu setelah mengetahui Winola ternyata menyukai Dipta.

Dipta terdiam sejenak, menatap lekat mata Riana, sebelum melipat tangannya di depan dada.

“Lo nggak sadar ya kalau lo itu gampang dibaca?”

“Maksudnya?” Riana mengernyit tidak paham.

Dipta menyentuh dahi Riana dengan telunjuknya. “Semua pikiran lo tertulis di sini. Jadi lo nggak bisa bohong.”

“Aku sering bohongin kakak aku, kok. Berhasil-berhasil aja tuh,” sanggah Riana terdengar bangga.

“Bukan berarti berhasil juga di gue.”

“Orang pinter emang beda,” gumam Riana kesal. “Kak Dipta kayaknya tipe cowok yang sering ditembak cewek deh. Terus tadi kenapa sampe sekaget itu?”

“Karena orang kayak lo yang ngomong.”

“Maksudnya orang yang cakepnya kelewatan?” sela Riana dengan tingkat kepedean seratus persen.

“Orang yang nggak pernah lihat orang lain dengan tulus,” koreksi Dipta berhasil membungkam Riana.

“Lo itu terlalu fokus sama pikiran dan ketakutan lo sendiri sampe lo nggak bisa ngeliat niat baik orang lain,” imbuhnya. “Akhirnya lo nutup diri dan jaga jarak karena nganggap semua yang deketin lo cuma ada maunya aja. Dengan sifat kayak gitu, mustahil lo suka sama orang segitu gampangnya.”

Riana sedikit bergidik karena Dipta bisa membaca dirinya dengan sangat tepat. Seolah semua pikiran Riana benar-benar tertulis jelas di dahinya.

“Kalau gitu dari tatapan aku sekarang, Kak Dipta bisa nyimpulin apa?” Riana sengaja mengetesnya sekali lagi.

Dipta mengambil satu langkah lebar, mamangkas jarak di antara keduanya. Dia harus sedikit menunduk untuk menatap Riana karena selisih tinggi mereka lumayan banyak.

Satu menit berlalu.

Dipta tidak membutuhkan waktu selama itu untuk mengetahui niat Riana yang sebenarnya. Beberapa detik sudah sangat cukup.

Hanya saja, Dipta ingin menatap mata itu lebih lama. Menggali jauh ke dalam hingga dia bisa menemukan keangkuhan, rasa percaya diri, keegoisan, gengsi dan … rasa sepi di dalam mata itu.

Meski berhasil menggali karakternya sejauh itu dalam sekali lihat, Dipta tidak bisa mengetahui sosok seperti apa Riana sebenarnya.

Benar bahwa Riana mudah dibaca, tapi seperti halnya manusia yang memiliki perasaan dan kepribadian yang kompleks, Riana juga punya satu sudut berdinding kokoh yang tak bisa ditembus.

Our (Happy) Little FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang