Nine (Rumah rasa penjara)

86 40 90
                                    

"Rumah bagaikan penjara"

~∞°^°∞~

Menjadi anak yang dituntut itu tentu saja tidak menyenangkan. Meski kebebasan dan banyak fasilitas yang didapatkan, namun kebahagiaan tetap saja menjadi hal utama dalam kehidupan. Sebagaimana kehidupan seorang lelaki berusia 24 tahun ini. Ia dibesarkan dengan kekayaan yang melimpah, namun mendapat tuntutan berat dari sang ayah.

Menjadi penerus perusahaan? Ya, tentu saja. Apa lagi kalau bukan itu? Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi penerus yang hebat sepertinya. Namun, apakah setiap anak mampu mengemban tugas tersebut? Tentunya tidak. Tidak semua anak mampu. Karena apa? Karena mereka pasti memiliki keinginannya sendiri.

Kendatipun itu adalah sebuah paksaan, namun Aleka tetap menjalankannya demi bisa mendapat kebebasan. Terlebih dia adalah seorang anak yang sangat menyukai balapan dan pergaulan bebas seperti anak muda pada umumnya.

Pendidikan S1-Nya sudah hampir rampung. Karena saat ini ia sedang duduk di semester tujuh dan sebentar lagi mengurus kelulusan. Seperti pagi biasanya, pagi menuju berangkat ke kampus. Dengan pakaian simpelnya ia keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga.

"Morning, Pa! Morning, Ami!" Aleka menyapa pada kedua orang tuanya yang tengah duduk sarapan di meja makan. Ya ... meskipun semalam hatinya masih kesal pada sang ayah.

"Morning, Sayang," sahut sang Ami. "Udah semangat lagi kayaknya." Vedha memberikan senyum sambutan melihat ekspresi anaknya yang tidak terlihat kesal.

Aleka memberikan senyuman tipis pada sang Ami, kala atensi matanya mengarah pada sang ayah yang diam saja tanpa menyahut. Situasi seperti ini tentu Vedha sangat memahaminya. Sehingga dengan lembut ia menawarkan, "Ya sudah, kau sarapan dulu, Jenna sudah menyiapkan semuanya."

Dengan alis yang sedikit naik Aleka mengedarkan pandangannya pada makanan di meja. "Hmm ... Aleka tidak mau sarapan ini," ucapnya dengan sebuah ide dalam benaknya.

Menu sarapan yang Jenna buat dengan Bibi Nigga hari ini memang makanan yang biasa dimakannya, namun meminta makanan lain untuk mengerjai gadis itu tentu ide menarik baginya. Namun hal itu membuat sang ayah tidak menyukainya. Dika akhirnya menghentikan aktivitasnya yang sedang sarapan, lalu mendelik ke arah lelaki itu.

"Makan yang ada di meja!" titahnya sedikit tegas.

"Tapi, Pa, Aleka tidak suka makanan ini," sanggahnya, berusaha sabar, namun membuat kedua orang tuanya mengernyit.

"Bukankah ini semua sarapan pagimu?" tanya sang Ami yang dibuat bingung.

Keceplosan! Sial!

"Maksudnya ... Aleka sedang tidak ingin makan ini," sahutnya, segera memperjelas. Namun Dika memasang wajah malas.

"Ya sudah, begini saja, kau mau sarapan apa? Biar Jenna buatkan." Vedha menawarkan.

"Aleka mau Sandwich."

"Oke. Kau duduk dulu!" perintahnya pada sang anak yang sedari tadi masih berdiri. "Jenna! Jenna!" Ia lalu memanggil Jenna dengan sedikit berteriak.

Dengan langkah cepat Jenna pun segera menghampiri. "Iya, Ami."

"Jenna, tolong buatkan Aleka Sandwich, ya."

Cita Cinta JennaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang