Two (Tinggalkan cita-cita?)

159 39 48
                                    

JANGAN MENJADI SILENT READER!
TINGGALKAN JEJAK KALIAN ⏩⏬
.
.
.
"Beasiswa itu harus aku dapatkan!"

~∞°^∞~

Lima hari lagi menuju kepergiannya ke Hyderabad. Jenna selalu menghabiskan waktunya untuk berdiam diri. Di balik jendela kamarnya yang mengarah ke halaman belakang, ia duduk dengan tatapan kosong. Pikirannya masih mengarah pada mimpi yang dialaminya. Mimpi pertemuannya dengan sang ayah dalam dua malam berturut-turut. Yang membuatnya kepikiran adalah apa yang dikatakan sang ayah di dalam mimpi tersebut.

"Dalam perjalanan, kamu akan menemukan keindahan air terjun, tapi jangan sesekali kamu berenang di bawahnya, hanya karena melihat keindahannya"

Jenna benar-benar berpikir keras untuk memahami maksud dari apa yang ayahnya katakan. Sesekali ia menggunakan logikanya seperti yang Shafa lakukan. Tapi, pikirannya selalu mengarah pada hal yang negatif. Jenna berdengus menghembus udara segar di pagi hari.

"Jenna!" panggil Rashi.

Bergegas Jenna meloncat dari jendela yang didudukinya. Lalu segera merapikan tempat tidurnya yang masih tampak berantakan. Rashi kemudian masuk dengan segelas susu yang dibawanya. Masih sama, minum susu adalah rutinitas Jenna setiap pagi setelah bangun tidur, atau sebelum berangkat sekolah.

"Jenna, Bibi membuatkan segelas susu untukmu," ucap Rashi, meletakkan susunya di atas meja.

"Terima kasih, Bibi. Jenna akan meminumnya," kata Jenna, berpura-pura sibuk membereskan bantal.

Rashi memberikan senyuman, lalu meninggalkan kamar dengan melangkahkan kaki keluar. "Oh iya, Jenna." Ia berputar balik menoleh ke belakang. "Ajak Shona untuk berangkat ke sekolah denganmu," pintanya.

"Iya, Bibi. Kami akan berangkat bersama," sahut Jenna, memandangnya ragu. Ia paham, Bibi Rashi tidak pernah tahu jika Shona sering berangkat sendirian.

Setelah Rashi pergi ia langsung menutup pintunya. Kemudian mendengus kasar sembari duduk di atas kasur yang baru saja dirapikan. Ia menoleh pada segelas susu yang dibawakan Rashi, kemudian meraih dan meminumnya.

Tidak sabar untuk bercerita pada Shafa, ia bergegas mengambil tas dan segera keluar mengunci pintu. Di ruang makan, Shona masih terlihat santai menikmati sarapan. Langkahnya yang terburu-buru itu ditahan kesal karena harus menunggu Shona.

"Shona, bisa kau percepat sarapanmu?" tanya Jenna, bernada kesal.

"Kenapa kau menungguku? Pergi saja duluan!" sahut Shona, fokus pada sarapannya.

"Jenna, kau tidak sarapan?" tanya Rashi, muncul dari dapur.

"Bibi, Jenna sedang terburu-buru. Tapi ... Shona ..." Jenna menatap kesal pada gadis itu, ia juga tampak tidak sabar untuk segera berangkat ke kampus.

"Jangan buru-buru, sarapan dulu!" perintah Rashi dengan lembut.

Jenna pun terpaksa harus duduk. Ia menyantap selembar roti yang telah disediakan di atas meja. Matanya terus melirik tajam ke arah Shona. Namun, gadis itu tampak sangat santai dengan wajah yang cukup menjengkelkan bagi Jenna.

Jenna meneguk segelas teh hangat, lalu menoleh pada Rashi yang duduk di kursi sebelahnya. "Bibi, Jenna berangkat sekarang. Shona, dia terbiasa berangkat sendiri," ucapnya.

Rashi dibuat heran oleh perkataan Jenna. "Kalian tidak pernah berangkat sama-sama?" tanyanya mengernyit.

"Bibi, Shona selalu ter-" Belum sempat selesai, Shona langsung memotongnya. "Kita berangkat sekarang!" potong Shona, segera bangkit dan menggendong tas ranselnya.

Cita Cinta JennaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang