Sixteen (Siapa anak kecil itu)

51 18 61
                                    

"Keberuntungan"

^________________^

Di dalam ruangannya Dika tampak mondar-mandir, setelah mengetahui bahwa Jenna adalah anak dari Nafees Ahmad yang mengalami kecelakaan empat tahun lalu.

Kecelakaan itu memang tidak sewajar.

Sebelumnya Dika berpikir untuk memberi peluang pada gadis itu agar melanjutkan pendidikannya, setelah melihat kompetisi kemarin yang membuatnya cukup terkagum dengan anak muda seperti jenna. Namun mengetahui cita-citanya membuat Dika berpikir kembali.

Sebenarnya ini adalah kesempatan juga baginya jika gadis itu sampai berhasil menjadi seorang pengacara. Namun bagaimana jika data kebohongan masih berada di tangan musuhnya?

Dika mendengus seraya duduk di kursi dengan kepala yang disandarkan.

"Aku tidak takut dengan hukum, selama aku memegang kebenaran."

Kalimat itu menjadi bayang-bayang dalam benaknya. Kalimat yang dilontarkan Jenna setelah ceritanya.

Dika manggut-manggut dengan jari-jarinya yang mengetuk-ngetuk pelan bagian kursi. Ia merasa bahwa apa yang dikatakan gadis itu sangatlah benar.

Untuk apa takut jika kita benar? Ya, Dika memahaminya.

Sementara di bawah sana anak lelaki itu baru saja pulang. Dari pintu depan langsung melangkah menuju dapur. Tentunya mencari sosok seorang gadis.

Melihat Jenna yang sedang menuangkan teh panas ke dalam gelas, ia langsung melepaskan teh itu dan meletakkannya di atas kompor. Lalu dengan cepat meraih tangannya dan menariknya ke arah luar.

"Aleka!" Jenna tentu sangat terkejut tiba-tiba lelaki itu menarik tangannya. "Aleka, mau ke mana? Apa yang kau lakukan?" Ia bertanya panik, namun tidak mendapat sahutan.

Di teras belakang, tepatnya di dekat kolam renang, Aleka melepaskan tangan gadis itu kasar.

"Katakan padaku! Bagaimana kau bisa keluar dari rumah itu?" tanya Aleka.

Wajah yang tadi meringis memegangi pergelangan tangan, kini tersenyum miring mendengar pertanyaan Aleka. Ia lalu melipat kedua tangannya di dada seraya melangkah.

"Sudah kuduga, kau pasti akan menanyakan hal ini," katanya. "Aku tahu, aku tidak sekuat kau sebagai lelaki, dan aku tidak sekuat kau sebagai Dwitara. Tapi, kenyataannya aku juga tidak selemah wanita yang kau pikirkan. Dan kau tahu?" Jenna berbalik badan menghadapnya. "Aku rasa Tuhan tidak salah memilihku sebagai pemenang kompetisi ini, karena aku memang layak memenangkannya. Buktinya ... kedua orang tuamu kagum melihatku," ucapnya, cukup panjang, dan tentunya sangat memancing.

"Tidak perlu banyak bicara, aku tahu kau sudah memenangkan kompetisinya. Cukup katakan saja padaku, bagaimana kau bisa keluar dari rumah itu? Apakah seseorang membantumu?" Aleka bertanya lagi.

"Mengenai bagaimanapun caranya ... rasanya aku tidak perlu memberitahumu." Lagi-lagi Jenna membuat lelaki itu kesal.

"Jangan menguji kesabaranku! Aku sedang tidak punya waktu untuk berdebat denganmu," ucapnya, bernada datar, namun tampak menahan emosi.

"Aku senang melakukannya, jadi biarkan aku menguji kesabaranmu," timp1qal Jenna, justru menantangnya.

Aleka mengepalkan tangannya lalu melangkah cepat mendekati gadis itu. Jenna membulatkan mata, sepertinya ia berhasil memancing amarahnya. Perlahan ia memundurkan langkahnya dengan kedua mata yang masih menatap lelaki di hadapannya.

Cita Cinta JennaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang