Thirteen (Rumah kosong)

57 27 84
                                    

"Menjadi pengusaha atau menjadi pengacara?"

^••••••^

"Jenna masih ngantuk, Bu." Jenna bergumam dengan suara malas.

"Bangun! Nanti kesiangan!" Sang ibu menarik selimutnya yang masih menutupi tubuhnya.

"Ibu .... 10 menit lagi, please!"

"Selamat pagi Anak Ayah!" Sang ayah datang memasuki kamar untuk menyapa putrinya.

"Ayaaaah ... Ibu memaksa Jenna bangun. 10 menit lagi ayah, please! Jenna masih ngantuk." Gadis manja itu rupanya mengadu kala sang ayah mendekatinya.

"Jenna, anak Ayah yang paling cantik. Dengerin Ayah, Nak! Menjadi seorang pengusaha itu tidak boleh terlambat datang ke kantor," ucap sang ayah lembut.

Sontak membuat anak gadis itu bangkit dan duduk. "Ayah! Ayah sudah tidak menyuruh Jenna untuk menjadi pengacara lagi?" tanyanya, sekedar memastikan.

"Hmmm ... apa pun yang kau inginkan, Ayah akan melakukannya untuk putri kesayangan Ayah." Nafees mengusap lembut rambut putrinya.

"Hmmm .... terima kasih, Ayah." Gadis manja itu memeluk erat sang ayah.

"Sama-sama, Sayang. Tapi .... kenapa anak Ayah tidak mau jadi pengacara? Pengacara itu hebat, bisa membantu orang."

"Pengusaha juga lebih hebat. Kalau nanti Jenna jadi pengusaha sukses, Jenna bisa memberikan orang lain pekerjaan. Hebat, kan?"

"Jadi pengacara yang bijaksana juga bisa membantu orang-orang yang tertindas. Menegakkan keadilan untuk masyarakat-masyarakat kecil," balas sang ayah, tak mau kalah.

"Ayaaaah... Jenna maunya jadi pengusaha. Kan, keren kalau nanti kita punya kantor sendiri dan nama perusahaan itu Jenna kasih nama Ayah."

"Iya-iya, aamiin. Yang penting kau semangat belajarnya. Ayah akan selalu support apa pun yang kau lakukan."

"Ekhem!!! Udah setengah tujuh!" Sang ibu yang menjadi penonton kedekatan sang putri dan ayahnya kembali mengingatkan jam sekolahnya.

"Kau mandi sekarang, Ayah tunggu di bawah!"

"Baik, Ayah."

.......

"Ayah! Ibu!" Jenna langsung terbangun dari tidurnya. Tidurnya di rumah kosong itu.

Itu bukan mimpi, tapi itu bayangan masa remaja yang mengganggu tidurnya. Masa ketika dirinya masih duduk di bangku kelas menengah. Masa ketika dirinya masih menjadi gadis manja kedua orang tuanya. Ya, sebelum akhirnya semua itu direnggut oleh seorang pembunuh.

"Ayah ... Ibu ... tolong Jenna ..." Lirih suaranya memanggil kedua orang tua yang mustahil datang untuk menolongnya.

Kedua matanya berkaca-kaca. Tampak masih ketakutan, mengingat dirinya yang terkurung di rumah kosong. Kendati demikian gadis itu selamat sampai pagi tanpa gangguan yang membuatnya semakin takut.

Kini ia bangkit, mencoba melangkahkan kakinya ke arah jendela kamar. Ia membuka gorden yang tampak kumuh dan lusuh itu. Di sana ... matahari memang sudah nampak, namun keadaan cukup sunyi. Tidak ada satu pun orang yang terlihat untuk beraktivitas. Di luar sana hanya terlihat gedung yang sudah terbengkalai, yang dikelilingi tumbuhan-tumbuhan besar menjulang tinggi.

Cita Cinta JennaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang