Eightteen (Misi Jenna)

24 5 1
                                    

TOLONG JANGAN MENJADI SILENT READER
TINGGALKAN VOTE DAN KOMENTAR KALIAN ⏬ ⏩
.
.
.
"Kau bisa menghancurkan hidupku, tapi aku bisa menghancurkan keluargamu!"

(⁠ʘ⁠ᴗ⁠ʘ)(⁠ʘ⁠ᴗ⁠ʘ)

Wajah Jenna memerah padam dengan kedua mata yang menatap tajam ke arah Aleka. Lelaki itu kemudian melangkah lebih dekat, lalu duduk di sofa dengan bertumpang kaki.

Vedha tentu bingung melihat keduanya. Lantas ia pun bertanya, "Apa maksudmu, Aleka?"

"Ammi tanyakan saja padanya. Dia kan anak yang baik, tidak mungkin berbohong," kata Aleka menyinggungnya.

Tatapan Vedha kembali mengarah pada Jenna, seakan minta penjelasan dari sang gadis.

"Aku dari stasiun kereta mengantar Shafa. Aku tidak sendiri, ada Davin yang menemaniku," jelas Jenna tentunya beralasan. "Aku ke kamar dulu!" pamitnya, segera beranjak pergi.

Vedha bertambah bingung, sementara Aleka menyeringai kecil menatap langkah sang gadis.

"Buah yang segar, belum tentu memiliki rasa yang manis," ucap Aleka seraya bangkit dan berlalu pergi.

Lagi-lagi Vedha mengernyit tak mengerti. Ia pun mendengus menggelengkan kepalanya. "Dasar anak muda," gumamnya seraya melangkah menuju dapur.

Di dalam kamar Jenna mondar-mandir memutar otak. Banyak hal yang sedang ia pikirkan mengenai kelanjutan hidupnya. Satu per satu yang dikatakan sang ayah dalam mimpi mulai ia rasakan setiap harinya.

Mengingat pada handphone yang dibelikan Dika hari lalu, Jenna segera meraihnya. Ia lalu mencari kontak dengan nama Shafa dan mengkliknya. Telepon sedang dalam panggilan, berharap segera mendapat jawaban.

"Shafa ... apa yang sedang kau lakukan?" gumamnya. "Jawab teleponku. Ya Tuhan!" gerutunya, karena panggilan ke-dua belum juga mendapat jawaban dari Shafa.

"Ya, Jenna. Ada apa kau meneleponku malam-malam?" Shafa menyapanya setelah telepon tersambung.

"Kau dari mana saja? Apa kau sudah tidur?"

"Aku baru selesai makan. Katakan, ada apa kau meneleponku malam-malam?"

"Banyak hal yang ingin kukatakan padamu. Kabar baiknya, aku sudah melanjutkan kuliahku di sini karena permintaan pak Dika."

"Sungguh? Oh God! Aku benar-benar bahagia."

"Tapi ada kabar buruk. Aleka melakukan semuanya agar beasiswa itu dicabut," jelas Jenna.

Pembahasan menarik itu membuat Shafa terus bertanya. Jenna pun menceritakan semua kejadiannya dengan sangat detail. Menceritakan bagaimana buruknya perlakuan Aleka padanya.

"Aleka benar-benar telah melampaui batasnya." Shafa berkomentar kesal setelah mendengar semuanya.

"Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?"

"Kau jangan khawatir! Kau harus ingat pada tujuanmu. Jangan sampai gangguan Aleka mengalihkan niatmu. Beasiswa itu milikmu, dan akan tetap jadi milikmu!" Sebuah semangat penuh penegasan Shafa berikan pada Jenna.

Cita Cinta JennaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang