Four (Mengubur mimpi)

94 37 34
                                    

"Pertemuan di stasiun kereta"

______________________________

Tersisa waktu dua Minggu menuju Kompetisi Kemampuan Beasiswa (KKB) di Hyderabad. Dan Jenna masih disibukkan dengan pikiran mengenai perjodohan. Hanya diberi waktu tiga hari untuknya memutuskan pergi ke Hyderabad atau siap untuk menikah.

Buku-buku yang seharusnya dipelajari kini hanya tersusun rapi di atas meja. Berbagai materi yang harus dikuasai untuk kompetisi tidak satu pun yang ia pelajari. Hal-hal tidak penting yang diberikan sang Bibi seakan menjadi penghalang untuknya fokus pada pelajaran.

Hari ini ia duduk dengan tatapan kosong. Buku di tangan yang berniat untuk dibaca sedari tadi hanya terbuka. Tatapan matanya yang tak tentu arah, juga pikiran yang tak menemukan jalan. Mimpi yang dialaminya semalam seakan memberi jawaban tentang apa yang harus diputuskan.

Shafa yang mondar-mandir sembari menghafal apa yang dibaca dalam buku seketika mendengus melihat sahabatnya yang sedari tadi masih bengong. Ia kemudian duduk seraya meletakkan bukunya di atas meja. "Sampai kapan kau diam seperti ini, Jenna? Kita memiliki waktu dua Minggu lagi sebelum kompetisi itu dimulai. Ayolah, baca bukunya, kita harus memenangkan kompetisi ini!" keluh Shafa menyadarkan Jenna.

"Semua benar-benar telah berakhir!" Jenna berkata lirih tanpa mengalihkan pandangan dari tatapan kosongnya.

Shafa mendekat menatapnya. "Maksudmu?"

Jenna akhirnya mendengus menyadarkan diri dari lamunannya. "Aku benar-benar tidak bisa melanjutkan ini," ujarnya. "But, why?" Shafa mengernyit heran.

"Bibi memintaku untuk menikah!"

"What?!" Shafa terkejut dengan kedua mata yang terbelalak menatapnya. "Bibimu benar-benar gila!" celanya merasa tidak habis pikir sembari menggeleng-gelengkan kepala. "Apa uang yang kita berikan tidak cukup?" lanjutnya bertanya.

"Aku tidak tahu. Aku rasa Bibi memang tidak ingin aku bekerja, tapi juga tidak ingin aku kuliah. Tapi Bibi butuh uang untuk pengobatan Paman dan biaya sekolah Shona, dia memintaku menikah agar ada laki-laki yang bisa mencukupi semuanya."

"Jadi, kau sudah memutuskan untuk menikah?" tanya Shafa dengan ekspresi penuh rasa penasaran.

"Itu tidak mungkin!"

"Lalu?"

"Aku masih berpikir untuk memutuskan, tapi Ibu datang memberiku sebuah jawaban."

"Maksudmu?"

"Semalam Ibu hadir dalam mimpiku, dia berkata, 'jangan terus-menerus bergantung pada orang lain, karena hidup tidak selamanya bersama, adakalanya kita sendiri' setelah mengatakan itu Ibu mencium keningku dalam pelukannya lalu pergi." Jenna menjelaskan sembari membayangkan kembali mimpi yang dialaminya semalam.

Shafa menatap wajah Jenna dengan tatapan teduh. "Ibumu benar, tapi itu artinya perjuangan kita sia-sia. Apa yang sudah kita lakukan hanya menjadi sebuah pengalaman semata, langkah kita terhenti sebelum di titik finish," ucapnya lirih beriringan dengan tatapan yang dialihkan secara perlahan.

Dua gadis itu tampak lemah tak berdaya setelah tahu bahwa perjuangannya selama ini hanya berakhir sia-sia. Salah satu dari mereka harus menghentikan langkahnya untuk menggapai impian. Buku-buku yang menumpuk di meja sekaan tak lagi berguna.

Cita Cinta JennaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang