Twenty

29 5 0
                                        

"Apa perlunya itu?"

ლ⁠(⁠◕⁠ω⁠◕⁠ლ⁠)

Kedua mata Jenna membulat, mulutnya masih dibungkam dengan telapak tangan. Jenna menatap lamat-lamat pria yang kini membawanya ke lorong sepi. Sorot mata pria itu masih sama. Sama seperti pria misterius yang pernah menolongnya. Dia kembali lagi.

Penampilannya tidak ada yang berubah. Wajahnya ditutup rapi menggunakan kain masker. Yang tersisa hanya sorotan mata berwarna cokelat pekat.

Pria misterius itu mengamati sekitar. Setelah dipastikan aman, jemari yang membungkam mulut Jenna ia lepaskan. Kini gadis itu mulai bisa bernapas rakus.

"Siapa kau?" Dua kata yang keluar dari mulut Jenna sebagai pertanyaan. Kedua tangannya masih berpegangan pada tembok lorong, kedua matanya menatap baik-baik pria itu.

Pria itu tak menjawab. Dia merogoh sebuah handphone dari dalam saku jaketnya, kemudian diberikannya handphone itu pada Jenna. Melihat benda pipih yang Jenna tahu betul milik siapa, ia pun melotot.

"Kau pasti tahu ini milik siapa. Ada rahasia besar di handphone ini, bukan? Sekarang kau bisa menghapus filenya. Jika sudah selesai, kau kembalikan saja pada ibunya. Katakan pada mereka jika pihak rumah sakit menemukannya di lokasi kejadian," kata si pria, seakan tahu semuanya mengenai masalah Jenna dan Aleka.

Kendati sedikit ragu Jenna menerima handphone itu. Kedua mata si pria menatapnya sejenak, kemudian segera pergi.

"Tunggu!" Jenna menghentikan langkah pria itu, tak menoleh. "Kau siapa? Kenapa kau tahu masalahku dengan Aleka?" Kalimat pertanyaan sekaligus unek-unek Jenna lontarkan.

Pria yang masih membelakanginya itu kemudian menjawab, "Lakukan saja apa yang kau butuhkan. Mengetahui indentitasku adalah sebuah masalah." Dia beranjak pergi.

Untuk beberapa saat Jenna terdiam, menatap punggung pria misterius itu yang telah lenyap dari pandangan. Jenna mengalihkan atensi matanya pada handphone yang ia genggam. Benda pipih itu jauh lebih berharga daripada mengetahui indentitas pria misterius. Jenna menyembunyikan benda itu di balik dupata yang ia kenakan, kemudian melanjutkan langkah menuju administrasi.

Begitu mendapatkan surat administrasi, Jenna berikan pada Vedha yang masih duduk menunggu di depan ruangan Aleka. Selepasnya ia pamit untuk keluar dengan alasan mencari suatu kebutuhan. Vedha tak begitu peduli, ia sedang meratapi kesedihannya, sehingga Jenna tidak perlu bersusah payah mendengar kalimat pertanyaan berbobot dari wanita itu.

Di balik pepohonan Jenna bersembunyi, mengeluarkan handphone secara diam-diam. Benda dengan harga fantastis itu memintanya password untuk membuka. Di sini Jenna berpikir keras mencoba menebak password yang Aleka masukkan. Tidak hanya menebak, Jenna juga mengingat mengenai percakapan lelaki itu dengan Sera.

"Mahesh Dwitara."

"Ah, bagus. Berhasil."

Jenna mengingat percakapan itu. Waktu di mana Aleka dikunci di dalam kamar kemudian handphone-Nya Sera sita. Lalu Sera memaksanya untuk menyebutkan kata sandi ponselnya itu.

Benar. Jenna tersenyum lebar. Otaknya mengingat dengan baik kejadian itu. Untung saja. Benda pipih itu diotak-atik, dari aplikasi ke aplikasi lainnya hanya untuk mencari sebuah video yang Aleka sembunyikan sebagai sebuah ancaman.

"Aku menemukannya." Jenna menonton terlebih dahulu videonya, lalu dengan penuh rasa kesal itu memencet tombol delete. Semua perangkat sudah ia periksa dan dipastikan telah terhapus permanen dari semua aplikasi.

Cita Cinta JennaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang