DUA

50 7 9
                                    

"Hallo, Fiano," sapa Diana dengan suara ceria.

Fiano memutar bola matanya malas ketika Diana berjalan di belakangnya. Gadis itu mencoba menyamakan langkahnya dengan langkah panjang Fiano.

"Nih, buat lo," kata Diana sambil mengulurkan permen tusuk rasa cokelat. "Ambil, dong," desaknya.

Fiano masih tak bergeming.

"Ih, ambil! Gue udah beli dua buat lo, masa lo nggak mau! Sayang dong tiga ribu gue," ujar Diana.

Fiano berhenti berjalan, membuat Diana ikut berhenti. Cowok itu mengeluarkan permen tusuk yang sudah ada di mulutnya, kemudian menunjukkannya pada gadis itu.

"Lo nggak lihat gue udah punya?" Fiano menatap Diana dengan rasa kesal. "Lagian nggak ada yang suruh lo beliin buat gue, 'kan?" lanjutnya sambil melanjutkan langkahnya.

Diana mendengus kesal sambil ikut berjalan. "Ya, udah, deh. Nih, gue masukin kantung aja. Nanti di makan, ya?" kata Diana, sambil memasukkan permen yang dibawanya ke saku celana hitam Fiano.

"Ya, makasih."

Diana mendecak. "Ngomong aja mau, gengsi doang gede," lirih Diana yang masih bisa di dengar oleh Fiano.

"Ngomong apa lo? Nggak ikhlas?"

Diana langsung tersenyum sambil menggeleng. Gadis itu merogoh saku roknya dan mengeluarkan lipatan kertas.

"Lihat, masa ulangan gue dapat lima empat doang," keluh Diana.

Fiano berdecih. "Makanya belajar, jangan cinta-cintaan mulu!"

Diana mengerucutkan bibirnya. "Gue udah belajar, kok. Tapi memang gue lemah di akademik," jelas Diana. "Gue lebih suka praktik daripada tes tulis gitu," lanjutnya.

"Udah tau lemah, bukannya ditingkatkan malah pasrah."

"Gue udah berusaha, tau! Memang hasilnya aja yang selalu mengecewakan. Nilai memang se-nyakitin itu," ujar Diana.

"Tapi, tapi, tapi ... Ada tau yang lebih sakit." Diana menggantungkan ucapannya sejenak, membuat Fiano mengangkat sebelah alisnya, menantikan kelanjutan perkataan dari gadis berbibir tipis itu. "Ditolak sama lo berkali-kali! Rasanya, tuh, kayak pisau tajam menusuk langsung ke dalam hatiku," jawab Diana dengan ekspresi wajah yang pura-pura emosi.

Fiano yang mendengar itu langsung berdecih. "Alay lo."

"Ih! Lo tau nggak—"

"Nggak," potong Fiano tegas. "Lo berisik banget, Na. Gue bosan dengar ocehan lo terus!"

"Ya, udah, ayo jadian. Nanti gue jadi pendiam," ujar Diana.

"Jadian? Jadian aja sama tembok. Nggak ada untungnya buat gue jadian sama lo!" sentak Fiano.

Setelah berkata begitu, Fiano melangkah lebih cepat, meninggalkan Diana yang terdiam di tempat.

Diana menatap punggung Fiano dengan wajah masam. "Dasar cowok pesek! Kalau bukan kakak kelas, udah gue tampar muka lo!"

✧✧✧✧

"Diana! Habis dari mana, deh, kamu?" Emma, salah satu teman Diana, langsung menyambut Diana dengan tatapan tajam, ketika temannya itu baru saja memasuki kelas.

"Halah, By. Kayak kagak tau aja kebiasaan Diana kalau ngilang kemana." Irfan, pacar Emma yang duduk di belakang bangku Diana menyahut. "Udah pasti ketemu si mamas PMR," lanjutnya.

Diana menatap Irfan sambil menyengir. Namun, beberapa detik kemudian, ia menoleh ke arah Emma dengan ekspresi penasaran.

"Eh, Ma. Fiano kalau di organisasi deket sama cewek, nggak, sih?" tanya Diana.

Diana & Kisahnya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang