"Lo serius bolehin Fiano masuk ke ruang OSIS, Na?" Akbar bertanya pada Diana dengan nada tak percaya.
Saat Akbar datang ke ruang OSIS, tadi ia melihat Fiano sedang berdiri di ambang pintu. Hal ini membuat cowok itu mengintrogasi Diana bersama anggota OSIS yang lain.
"Dia masuk tanpa gue suruh. Gue juga nggak tau kenapa tiba-tiba dia masuk," jawab Diana.
"Lo kalau suka boleh, tapi jangan bodoh, lah, Na. Kita aja nggak pernah masuk ruang PMR, kenapa lo dengan mudahnya kasih ijin Fiano buat masuk ruang OSIS yang di dalamnya ada aset-aset privasi kita?" Rendra yang berdiri di ambang pintu ikut menimpali.
"Gue nggak paham sama lo, Na. Kita di sini udah belain lo, malah lo bikin kesalahan sendiri," ujar Wisnu.
"Gue benar-benar minta maaf. Gue tau gue salah. Tapi gue benar-benar nggak sengaja," tutur Diana.
Akbar menghela napas. "Ucapan kemarin gue tarik aja, Na. Kalau jabatan lo terancam turun, maaf banget, Na, maaf. Gue bakal tetap mempertahankan jabatan gue tanpa ikut-ikutan turun jabatan."
"Bukan maksud gue nggak mau dukung, Na. Tapi kesalahan lo makin ke sini makin ngelunjak," lanjut Akbar. Cowok itu lalu keluar diikuti yang lainnya.
Diana dengan hati yang berat, kembali duduk dengan perlahan. Dia merasakan hembusan angin yang menyentuh wajahnya dan merasakan detak jantungnya yang berdebar-debar. Sambil memejamkan matanya, dia mencoba merasakan setiap sensasi yang ada di sekitarnya.
Rasa sesak di dadanya semakin terasa, mengingatkannya akan kesalahan yang telah dia perbuat. Meskipun begitu, dia memilih untuk tidak menyalahkan anggotanya atas keputusan yang telah diambil.
"Nangis kenapa lagi?" tanya Aldino dengan kebingungan saat memasuki ruang OSIS dan melihat Diana sedang menangis di mejanya.
Diana tidak mampu menjawab, air matanya masih mengalir deras sambil wajahnya tersembunyi di dalam tangan.
"Woi! Kenapa?" desak Aldino, sambil memegang pundak Diana dengan lembut, berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Dengan kepala yang masih tertunduk, Diana memberikan surat peringatan yang tadi diberikan oleh Pak Teguh.
Aldino membaca surat tersebut dengan serius, matanya bergulat dengan setiap kata yang tertera di sana. Cowok itu mengumpat kesal setelah selesai membaca surat itu.
"Kok bisa? Lo buat kesalahan apa lagi, Diana?"
Namun, Diana tetap diam, tidak memberikan jawaban apapun. Kekesalan Aldino semakin memuncak. Tangan kekar cowok itu mengangkat wajah Diana yang basah oleh air mata dengan penuh perhatian.
"Lo kalau cuma nangis, nggak bikin masalah lo selesai," ujar Aldino dengan nada yang sedikit kesal. "Ceritain ke gue, kenapa lo bisa sampai dapat surat peringatan?"
"Gue nggak mau cerita ke lo! Kalau gue cerita, nanti lo pasti ketawain gue," kata Diana.
"Ya, nggak, lah, Cok," sahut Aldino, menjauhkan tangannya dari wajah Diana. "Ngapain gue ketawa di atas masalah orang lain?"
Dengan napas yang teratur, Diana mencoba mengendalikan dirinya. Suaranya gemetar saat ia menjelaskan, "Foto-foto gue sama Fiano udah kesebar sampai guru. Terus, tadi pas pak Teguh ke ruang OSIS, dia liat Fiano di sini sama gue. Gue kena marah karena kasih ijin anak selain OSIS buat masuk ke ruang OSIS."
"Tadi teman-teman yang lain juga marah ke gue," lanjut Diana dengan wajah masamnya.
"Kan, tolol emang, sih, lo," cela Aldino, kata-katanya menusuk hati Diana dan membuat air mata kembali mengalir di pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diana & Kisahnya
Teen FictionDiana Candramaya, siswi SMK Prima yang menjabat sebagai ketua OSIS, terlibat dekat dengan Fiano Arsatya, si ketua PMR yang menjadi misi organisasinya. Namun, masalah muncul ketika Diana justru benar-benar menyukai Fiano. Jabatannya yang menjadi ket...