TIGA BELAS

26 6 11
                                    

Dengan napas tersengal-sengal, Diana melangkah masuk ke aula. Dia terlambat lima menit karena harus mengambil bukti-bukti yang terlupakan di ruang OSIS.

Sesuai rencana Diana kemarin, kini semua anggota PMR dan OSIS telah berkumpul di aula. Mereka duduk dengan susunan yang teratur, anggota OSIS berada di sisi kanan dan PMR di sisi kiri.

"Tidak ada waktu untuk berlama-lama. Tunjukkan buktinya," kata Bu Rukmo. Beliau duduk bersama beberapa pembina PMR di depan para anggota organisasinya.

"Dengan sepenuh hati, saya mengumpulkan semua anggota OSIS dan PMR beserta para pembina, untuk meredakan masalah yang terjadi antara kedua organisasi ini," ujar Diana.

"Bapak, Ibu, dan teman-teman, saya tidak ingin membuang-buang waktu, jadi saya akan langsung menyingkap intinya. Intinya adalah bahwa salah seorang anggota PMR telah memfitnah OSIS dengan tujuan merusak reputasi kami. Dia menggunakan dana yang seharusnya untuk PMR untuk kepentingan pribadinya," jelas Diana, membuat yang lain bertanya-tanya.

"Bukti mana yang bisa kamu tunjukkan?" tanya Bu Rukmo, membuat Diana tersenyum.

Layar proyektor menyala, memperlihatkan gambar bukti transaksi yang difoto oleh Aldino kemarin, dengan tertera nama Raisa dan nama orang tuanya. Selain itu, juga tertera nama-nama barang yang Tya beli menggunakan dana yang ia ambil. Gambar itu membuat seluruh anggota PMR menatap Raisa dan Tya dengan pandangan penuh tanda tanya.

"Sekarang, untuk Kak Raisa, tolong berdiri dan jelaskan," perintah Diana dengan lembut.

Raisa berdiri dengan tubuh yang gemetar. Kepalanya menunduk, menghindari tatapan teman-temannya.

"Kakak bisa jelaskan, dengan siapa Kakak melakukannya dan siapa yang melindungi Kakak dalam kasus ini," kata Diana sambil melirik Bu Rukmo.

Raisa hanya diam. Tak mengeluarkan sepatah katapun membuat Diana beserta yang lain mengerutkan keningnya.

"Kak? Jangan takut. Jika Kakak jujur, kami di sini siap melindung Kakak," kata Diana dengan penuh keyakinan.

"Melindungi apa?" tanya Raisa, membuat Diana memandangnya dengan keheranan. "Kamu yang memaksa saya untuk berbohong dan memfitnah orang lain!"

Kata-kata itu membuat seluruh mata tertuju pada Diana. Sementara Diana, menatap Raisa dengan wajah tak percaya.

"Kak? Kakak ngomong apa? Jangan bercanda, Kak. Kita udah sepakat, lho, kemarin?" kata Diana, dengan berusaha menutupi rasa tegangnya.

"Dia!" Raisa menunjuk Diana, sambil melihat semua orang di aula bergantian. "Dia memaksa saya untuk mengakui perbuatan yang tidak saya lakukan demi kepentingannya sendiri!"

"Untuk apa saya melakukan itu?" tanya Diana, namun Raisa tak menjawab.

"Lihat, Pak Teguh, anak Bapak berulah lagi," kata Bu Rukmo, membuat Diana menggeleng sambil menatap Pak Teguh.

"Pak, saya bersumpah, saya tidak berbohong, Pak," ujar Diana sambil menekan tombol remote proyektor, membuat layar menampilkan lembar pengesahan. "Lihat di sini, tanda tangan ini seharusnya dari Bu Rukmo. Bukan dari Pak Rudi."

Diana beralih menatap Pak Rudi yang berdiri di samping Pak Teguh.

"Pak, tolong jelaskan, kalau Bapak tidak terlibat dalam masalah ini. Tetapi Bapak disuruh oleh Bu Rukmo untuk menandatangani demi melindungi beliau, kan?" kata Diana.

"Bapak juga yang mengambil bukti transaksi dari gudang penyimpanan lalu diserahkan ke Bu Rukmo, kan, Pak?" tanya Diana.

Namun, Pak Rudi tak membuka suara, membuat Diana menghela napas dalam.

Diana & Kisahnya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang