DUA PULUH TIGA

20 5 4
                                    

Diana yang hendak masuk ke UKS untuk menjumpai Fiano berhenti di depan pintu, ketika melihat cowok itu duduk bersebelahan dengan seorang perempuan, yang pernah ia lihat berboncengan dengan Fiano.

"Kamu kenapa sama Diana terus? Udah mulai suka sama dia?" tanya perempuan itu dengan rasa ingin tahu.

Fiano menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Gue nggak suka sama dia, Yara," jawabnya.

"Terus kenapa sama Diana terus?" Perempuan yang dipanggil Yara itu mengulangi pertanyaannya.

"Memangnya kenapa? Gue sama dia cuma sebatas adik kelas sama kakak kelas aja," jawab Fiano.

Mendengar jawaban Fiano, Diana merasakan kekecewaan yang terpendam. Meskipun pernyataan itu benar, tetapi tetap saja hati Diana terasa tergores.

"Kalau memang kenyataannya begitu, kenapa kamu perhatian banget sama dia? Sampai mau diajak belajar bareng," kata Yara.

"Gue cuma berusaha menghargai perasaan dia."

"Kamu yakin nggak suka dia?"

"Sampai kapanpun, gue nggak bakal suka sama dia, Yara."

Hati Diana semakin terhimpit mendengar percakapan mereka. Rasa sakit semakin menguasai hatinya, dan ia berjuang untuk menahan tangis yang ingin pecah.

Dengan langkah tergagap, Diana berbalik dan memulai langkah pergi dari hadapan Fiano dan Yara. Tetapi, saat dia berpaling, matanya menangkap sosok Aldino yang tiba-tiba berdiri di hadapannya, menatapnya tanpa ekspresi.

✧✧✧✧

Air mata masih mengalir di pipi Diana saat dia mencoba mengendapkan emosinya. Aldino, yang jengah melihat tangis Diana, mengeluarkan sebuah tisu dan melemparkannya dengan sedikit ketidaksabaran.

"Udah, lah. Cengeng amat. Masalah cowok doang sampai nangis," ucap Aldino dengan suara agak kasar.

Kedua orang itu sekarang berada di ruang OSIS. Sejak kedatangan mereka, Diana terus menitihkan air matanya membuat Aldino jengah menatapnya.

Diana mengusap air matanya dengan tisu yang dilemparkan ke arahnya. Dia merasa kecewa dengan respons Aldino.

"Orang nggak punya hati kayak lo mana tau perasaan cewek?" kata Diana dengan nada kesal.

Aldino mengerutkan keningnya. "Makanya jadi cewek jangan tolol," balasnya dengan nada sinis.

Tisu bekas air mata Diana terbang menuju Aldino dengan penuh emosi. "Lo bisa nggak, sih, jangan toxic? Bosan gue dengernya tau!" bentak Diana dengan marah.

"Apanya yang toxic? Gue cuma ngomong apa adanya!" sergah Aldino.

"Terserah, terserah! Capek gue sama lo," ujar Diana sambil menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan, berusaha menahan kesedihannya.

Aldino, yang awalnya duduk di meja, bergerak dan pindah posisi untuk duduk di kursi sekretaris, hanya terpisah oleh satu meja dari kursi yang diduduki Diana.

"Makanya jangan batu," kata Aldino dengan suara yang lebih lembut. "Udah gue kasih tau jangan dekat-dekat Fiano, masih aja ngegas."

Dengan perasaan campur aduk yang masih memenuhi matanya, Diana mengangkat kepalanya dan menatap Aldino tajam.

"Terserah gue, lah. Ngatur amat lo!" cecar Diana sambil merapikan rambutnya yang acak-acakan.

Aldino mengerutkan keningnya. "Nah, kan. Mulai begonya," katanya dengan nada sinis. "Gue ngomong gini juga buat kebaikan lo. Kalau udah gini, siapa yang sakit hati? Lo sendiri kan?"

Diana & Kisahnya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang