SEMBILAN BELAS

20 5 9
                                    

"Pesek!" seru Diana sambil memasuki UKS dengan langkah bersemangat. Ia melangkah mendekati Fiano yang sedang duduk santai di sofa, sibuk dengan permainan ponselnya.

Dengan tatapan yang penuh kemenangan, Diana memperlihatkan selembar kertas ulangannya yang tadi baru saja dibagikan.

"Lihat, nih!" ujar Diana dengan bangga. "Pintar, kan gue? Tanpa nyontek!"

Fiano tersenyum menyambut sikap Diana yang sudah kembali seperti yang dia inginkan. Cowok itu dengan sigap memasukkan ponselnya ke saku celana, lalu mengambil kertas ulangan Diana dengan cermat.

"Besok-besok tingkatin biar seratus," kata Fiano.

"Gampang!" ucap Diana percaya diri. "Sekarang, tepati janjinya."

"Janji apa?"

Diana melotot. "Ih! Katanya mau ajak gue jalan-jalan?"

Mendengar itu, Fiano mengangguk sambil bergumam. "Mau pergi ke mana?" tanyanya sambil meletakkan kertas ulangan Diana di meja sampingnya.

Diana terlihat sedang berpikir keras. Beberapa saat kemudian, dia menjawab sambil tersenyum lebar. "Terserah. Kemana aja, yang penting sama lo."

Fiano mengangguk mengiyakan. "Nanti pulang sekolah?"

"Boleh," jawab Diana dengan antusias.

Namun, tiba-tiba Diana melirik sekeliling UKS dengan tatapan curiga. "Lo di sini sendirian?" tanyanya, matanya melintas dari satu sudut ke sudut lainnya.

Fiano mengangguk sebagai jawaban.

"Kenapa?" tanya Diana membuat Fiano mengangkat sebelah alisnya. "Maksut gue, kenapa lo sering banget di UKS? Mana sendirian lagi. Nggak takut apa?"

Fiano tertawa kecil. "Apa yang mau ditakutin? Paling setannya juga lo."

Tanpa berpikir panjang, Diana langsung memukul lengan Fiano. "Cantik-cantik gini lo bilang setan? Lihat muka gue, lihat! Apa ada aura-aura setan?"

Diana mendekatkan wajahnya ke arah Fiano, membuat cowok itu menatapnya dengan intens. Pandangan mereka bertaut. Dalam jarak yang sangat dekat, Diana merasakan denyutan yang tak terkendali di dadanya. Detak jantungnya berdentum-dentum, seolah menari dalam irama ketegangan yang melanda dirinya.

Sial, Diana tak bisa mengalihkan pandangannya. Gadis itu terbius oleh pesona Fiano. Matanya terikat pada pria itu, seakan terhipnotis oleh daya tarik dan ketampanan Fiano.

Fiano berdeham, membuat Diana refleks mengalihkan pandangannya dari Fiano. Wajahnya memerah karena rasa malu.

Fiano menatap Diana dengan sinis, menyisir rambutnya dengan penuh ketampanan. "Terpikat banget sama ketampanan gue?" tanyanya. "Ketampanan gue memang nggak bisa diragukan lagi."

Diana menatap Fiano sambil berdecak, tak bisa membantah bahwa kenyataannya memang demikian

"Belajar bareng, ayo, No?" ajak Diana mencoba mengubah topik pembicaraan.

Fiano mengernyitkan kening. "Belajar bareng gimana? Materi kita aja beda."

"Belajar bareng di satu tempat yang sama," jelas Diana. "Lo belajar sendiri, gue belajar sendiri. Nanti kalau gue nggak tau, kan bisa tanya lo. Materi kita sama, lah. Orang jurusan kita sama," lanjutnya.

"Ogah," tolak Fiano. "Lewat chat, kan, bisa."

"Alah, ayo, lah, No." Diana menggoncang lengan Fiano. "Bantuin gue biar semangat belajar."

Fiano tetap bersikeras. "Nggak, nggak, nggak. Belajar sendiri. Gue yakin lo mampu."

Diana menggembungkan pipinya kesal. "Ya, udah gue ngambek lagi."

Diana & Kisahnya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang