DUA PULUH SEMBILAN

19 5 4
                                    

Pagi ini, Diana bertugas berjaga di depan gerbang sekolah. Seperti biasa, tugasnya adalah mengecek kerapihan siswa sebelum mereka memasuki area sekolah. Meskipun hatinya agak tidak ikhlas, Diana tetap menjalankan tugasnya dengan tekun. Sebab, sekolah tempatnya berada terkenal dengan disiplinnya, yang membuat pengecekan harian menjadi rutinitas yang tak bisa dihindari.

Tiba-tiba, suara gemuruh motor membuyarkan konsentrasi Diana. Ia menoleh ke arah sumber suara, dan matanya melebar sedikit saat ia melihat siapa yang datang. Betapa terkejutnya Diana ketika ia menyadari bahwa Fiano tidak datang sendirian, melainkan bersama seorang gadis yang ia kenal, Yara.

Namun, di balik kejutan itu, Diana segera menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda kali ini. Melalui tatapan mereka yang penuh keakraban, Diana menebak bahwa kedua orang itu memiliki hubungan.

Tiba-tiba, suara Wisnu memecah keheningan. "Fiano, bukan?"

Dengan sikap acuh tak acuh, Diana mengangkat bahunya, mengirimkan sinyal bahwa hal tersebut tak penting baginya. Wisnu, yang penasaran, menyipitkan matanya.

"Gue dengar-dengar, lo sama Fiano—"

"Gue malas bahas itu, Nu. Jangan bikin mood gue rusak cuma gara-gara bahas Fiano," potong Diana, membuat Wisnu langsung menutup mulutnya.

"Lo cowok suka banget ghibah, heran." Tiba-tiba Aldino menyela, sambil merangkul pundak Wisnu. "Liat, noh, ada yang nggak pakai kaos kaki sekolah," ucap Aldino sambil menunjuk seorang siswa yang santai berjalan di depan mereka bertiga.

"Berani-beraninya, tu, bocah." Wisnu, tanpa ragu, berjalan cepat menyusul siswa yang melanggar aturan tadi. Ia meninggalkan Diana dan Aldino bersama beberapa anggota OSIS lainnya,

"Kenapa lo? Sakit hati?" tanya Aldino, ketika melihat wajah murung Diana.

Mereka berdua berdiri di sebelah kanan gerbang sekolah. Awalnya, Diana berada di sana bersama Wisnu dan Aldino sebagai anggota OSIS yang bertugas. Namun, sekarang Wisnu telah pergi mengejar siswa yang melanggar aturan, meninggalkan Diana dan Aldino bersama tiga anggota OSIS lainnya yang berdiri di seberang mereka.

Dengan tinggi Aldino yang menjulang di atasnya, Diana mendongak. "Siapa juga yang sakit hati. Gue nggak selemah itu kalik."

Aldino menanggapinya dengan senyum meremehkan. "Cewek mana yang nggak sakit hati lihat pujaan hatinya berangkat cewek lain?"

Diana berdecak. "Fiano nggak sepenting itu buat gue."

"Udah sadar? Bagus, lah." Senyum Aldino terlihat sedikit mencemooh. "Sekarang, saingan gue cuma kesalahan gue di masa lalu, kan?" tambahnya dengan tiba-tiba, menciptakan kebingungan di wajah Diana.

Dengan tatapan penuh tanda tanya, Diana menerka-nerka apa maksud Aldino. Apakah ini hanya gurauan ringan atau ada pesan yang lebih dalam?

✧✧✧✧

Seseorang mengetuk pintu ruang OSIS, membuyarkan konsentrasi Diana yang tengah asyik dengan laptopnya. Ia menatap ke arah suara tersebut, dan di sana, Fiano berdiri dengan map kuning tergenggam di tangan kirinya.

"Gue masuk," ujar Fiano tanpa menunggu persetujuan Diana. Dengan langkah mantap, ia melangkah masuk ke ruangan, membuat Diana bangkit dari tempat duduknya dan mendekatinya.

"Ngapain?" tanya Diana dengan wajah penasaran. "Ada urusan apa sampai lo masuk ke ruang OSIS?"

Fiano mengulurkan map kuning yang dibawanya. "Gue setuju dengan agenda yang disusun oleh OSIS. Lo tinggal minta tanda tangan dari pembina OSIS dan PMR, setelah itu kasih map ini ke gue buat ditandatangani."

Diana & Kisahnya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang