DUA BELAS

23 5 11
                                    

"Terus kenapa Kakak mau disuruh ambil dana itu, Kak? Karena Kakak, dua organisasi jadi renggang, lho," kata Diana sambil menatap Raisa dengan pandangan tidak percaya.

Diana dan Aldino membawa Raisa ke aula atas. Tempat itu jarang dilalui oleh murid-murid lain. Walaupun di sebelahnya terdapat enam kelas, namun saat ini murid-muridnya sedang melaksanakan PKL.

"Terpaksa. Kalau gue nggak terpaksa, gue juga nggak mau," jawab Raisa.

Diana menghela napas berat saat mendengarnya. Ternyata benar, sebagian uang dari dana koperasi telah ditransfer ke rekening orang tua Raisa. Namun, penerima uang itu bukan Raisa, melainkan Tya.

"Terpaksa gimana?" tanya Aldino ikut bertanya, penasaran dengan jawaban Raisa.

"Waktu itu, adik gue masuk rumah sakit dan membutuhkan biaya yang lumayan banyak. Karena orang tua gue yang nggak bisa bayar, gue inisiatif pinjam ke Tya. Tapi justru gue kemakan omongan Tya buat ambil dana koperasi," jelas Raisa.

"Kakak ambil berapa? Buat kakak berapa, buat kak Tya berapa?" tanya Diana.

"Gue dikasih dua juta sama Tya. Sisanya, empat juta diambil dia buat bayar rumah sakit sama kesenangan pribadi," jawab Raisa. "Tapi gue bersumpah, yang ambil dana itu Tya, cuma pakai nama gue. Gue dijadiin kambing hitam sama dia."

"Tapi kakak juga terima uangnya, kan?" tanya Diana. "Berarti kakak juga salah."

"Tapi demi Tuhan, gue sebenernya nggak mau ambil dana itu. Tya yang bayar biaya rumah sakit adik gue pakai uang itu. Gue nggak tau apa-apa, tiba-tiba semuanya udah beres," jelas Raisa dengan nada yang penuh penyesalan.

"Terus, gunanya fitnah OSIS apa?" tanya Diana.

Raisa terdiam sejenak. Setelah beberapa saat, ia menjawab, "Dia nggak suka sama OSIS. Dulu, waktu pendaftaran OSIS, Tya ikut mencalonkan diri tapi nggak diterima. Ditambah lagi, cowok yang dia suka nolak dia dengan alasan peraturan OSIS nggak memperbolehkan anggotanya pacaran. Hal itu buat Tya makin benci sama OSIS, dan berakhir dia melakukan segala hal yang bikin nama OSIS terkenal buruk."

"Siapa cowoknya?" tanya Diana penasaran.

Raisa mengerutkan keningnya, lalu menatap Aldino. "Lo, kan, cowoknya?"

Aldino yang mendapat tatapan tajam dari Diana langsung buka suara, "Apa? Gue nggak salah, loh? Lagian dia aja yang bego. Perkara cinta doang jadi gitu."

Diana menghela napas panjang saat mendengar itu. Dia ingin menyalahkan Aldino, namun cowok itu tidak bisa disalahkan.

"Gue mohon bantu gue biar masalah ini selesai. Gue nggak mau terus-terusan hidup penuh dosa gini," pinta Raisa.

"Kakak yakin?" tanya Diana, membuat Raisa mengangguk mantap. "Kalau gitu, Kakak jadi bukti bisa?"

Dengan cepat, Raisa mengangguk. "Apapun bakal gue lakuin. Gue janji."

"Pelindung kalian siapa?" tanya Aldino tiba-tiba, membuat kedua gadis di hadapannya menoleh ke arahnya.

Raisa terdiam sejenak. Ia terlihat sedang berpikir dengan serius. Melihat rasa penasaran di mata Diana dan Aldino, Raisa akhirnya menghela napas.

"Bu Rukmo," jawab Raisa, membuat Diana sekaligus Aldino terkejut bukan main.

✧✧✧✧

Tulisan "KETUA OSIS" terpampang jelas di atas meja dengan sebuah besi kecil yang menjadi penyangganya. Di dalam ruangan OSIS, hanya ada Diana yang duduk menatap laptopnya dengan serius.

Setelah hampir satu jam bergumul dengan laptopnya, Diana akhirnya tersenyum puas sambil meregangkan tubuhnya. Wajahnya dipenuhi kepuasan karena berhasil menemukan bukti transaksi Tya yang menggunakan dana korupsi untuk kepentingan pribadinya.

Dengan semangat membara, Diana berniat memberitahu anggota OSIS dan PMR tentang temuannya hari ini. Namun, saat Pak Teguh menyuruh untuk menunda rencananya, karena beberapa anak organisasi ada yang masih kegiatan belajar mengajar (KBM).

Diana sudah berkoordinasi dengan Pak Teguh dan beliau menyarankan agar mengungkapkan temuannya besok. Alasannya adalah karena besok akan ada rapat guru yang membahas ujian kelas XII. Jadi, anak-anak akan pulang lebih awal, dan tidak ada KBM.

Diana melanjutkan kegiatannya dengan menatap keluar jendela. Senyumnya semakin melebar saat melihat Fiano lewat di depan ruang OSIS. Dengan cepat, Diana berlari menuju cowok itu.

"PESEK!" panggil Diana, namun Fiano tidak menoleh ke arahnya.

"Kelas lo jamkos, ya, No? Gue juga jamkos, lho. Kayaknya kita jodoh, deh? Banyak persamaan soalnya," ujar Diana sambil tersenyum puas mendengar kata-katanya sendiri.

Tetapi Fiano hanya terdiam, tidak memberikan respons apapun.

"No, kok, diam doang, sih? Gue capek, nih, dikacangin terus," ucap Diana sambil mencoba meredakan kekesalannya. "Oh, iya, besok kita damai, lho, pesek."

Fiano masih diam, membuat Diana semakin cemberut. Ia mengernyitkan keningnya dan memutuskan untuk mengikuti Fiano yang memasuki ruang UKS. Diana duduk di sofa yang berseberangan dengan kursi yang diduduki oleh Fiano.

"Lo suka nggak gue panggil pesek? Gue sebenernya dengernya aneh, sih, soalnya sama kakak kelas. Kaya nggak sopan, tapi nggak apa-apa gitu," oceh Diana.

"Cerewet banget, sih, koe, Cok?"

Diana yang mendengar itu langsung menekuk alisnya. "Iya, maaf. Makanya ngomong, dong. Udah mau damai juga."

"Keluar sana," perintah Fiano, membuat Diana langsung menggeleng.

"Kenapa, sih, No? Masih jutek aja sama gue," keluh Diana dengan ekspresi cerianya yang tiba-tiba memudar.

"Lo ganggu."

"Lo udah punya cewek, ya? Kenalin dong ceweknya ke gue. Siapa tau nanti dia mau berbagi cowok," canda Diana.

"Nggak ada."

"Terus kapan lo suka gue?"

"Diana!"

Mendengar suara Fiano yang agak tinggi, Diana mendadak terdiam, agak terkejut dengan respon Fiano.

"Gue nggak bisa suka sama lo, Na. Mau sampai kapan lo mainin perasaan gue? Lo dekati gue biar OSIS sama PMR damai, kan?" ucap Fiano dengan nada tegas. Diana mengangkat wajahnya, terkejut.

"Itu dulu, No. Sekarang gue beneran suka sama lo. Lagian gue dekati lo cuma buat cari barang bukti, bukan buat mainin perasaan lo," kata Diana.

"Gimana caranya gue buktiin ke lo, kalau gue beneran suka sama lo? Kasih hati gue ke lo? Gue nggak mau, gue masih sayang nyawa," lanjut Diana dengan sedikit candaan.

Fiano tetap diam, berusaha menahan emosinya agar tidak melukai Diana dengan kata-kata.

"Alasan lo nggak suka sama gue apa? Gue salah apa selain dekati lo gara-gara misi organisasi?" tanya Diana.

"Lo ganggu gue, Diana. Nama gue udah jelek di PMR. Gue nggak mau reputasi gue makin buruk. Tiap hari gue harus dengerin omongan nggak penting tentang kita berdua gara-gara lo. Organisasi kita masih renggang, jadi nggak mungkin kita bisa dekat," ujar Fiano dengan tegas.

"Tapi lo tahu, kan, OSIS itu nggak salah," kata Diana.

"Lo belum bisa buktiin itu, Na."

Mendengar itu, Diana kesal. Ia bangkit dari tempat duduknya sambil berkata, "Kalau gue berhasil buktiin, sikap lo sama gue harus berubah! Gue nggak mau tau, pokoknya lo harus berubah!"

Setelah mengucapkan kata-kata itu, Diana meninggalkan Fiano yang terdiam. Cowok itu menghela napas berat.

"Maksa banget, sih, Cok?" gumam Fiano dengan menatap punggung Diana yang sudah mulai menjauh.

✧✧✧✧

Diana & Kisahnya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang