TIGA PULUH TIGA

21 4 5
                                    

"Jelasin," perintah Diana sambil memutar video yang ia peroleh dari Dika di depan Riana.

Saat ini, mereka berdua sedang berada di aula atas. Diana dengan sengaja mengajak Riana ke tempat ini karena jarang ada murid yang melintas di sini, sehingga bisa berbicara leluasa.

Dengan ekspresi terkejut yang tak dapat ia sembunyikan, Riana menyaksikan video yang diputar oleh Diana. Namun, meskipun hatinya berdesir, ia berusaha menunjukkan ketenangan di wajahnya.

Setelah video berakhir, dengan tenang Riana bertanya, "Kenapa?"

"Lo masih tanya kenapa?" Dengan ekspresi yang tak percaya, Diana menatap Riana tajam. Gadis itu memasukkan ponselnya ke dalam saku roknya. "Apa alasan lo kasih foto-foto gue sama Fiano ke Pak Teguh?"

"Lo nggak suka?"

Dengan ekspresi jengkel yang semakin memperjelas di wajahnya, Diana terus menatap Riana. Ia tidak bisa memahami bagaimana Riana bisa berkata seperti itu dengan santainya.

"Lo kenapa, sih? Ada masalah apa sama gue?" tanya Diana. "Kenapa lo dengan sengaja ngasih foto-foto itu ke Pak Teguh? Lo tau, 'kan, dampaknya apa? Gue diancam turun jawaban gara-gara dikira pacaran, Riana!"

"Lo, kan, tau jabatan ketua OSIS itu penting buat gue, kenapa lo melakukan ini? Gue nggak habis pikir sama lo. Gue kira, lo bener-bener baik sama gue, tapi nyatanya ...." Diana tertawa sesaat. "Munafik!"

Riana menggelengkan kepalanya dengan malas, mengedarkan bola matanya. "Udah ngomongnya?" tanyanya dengan nada acuh. "Buang-buang waktu gue, tau, nggak?"

Riana berencana untuk pergi, namun Diana dengan cepat menahan tangannya.

"Jelasin!" bentak Diana dengan nada kesabaran yang sudah habis.

"Apa? Foto?" Riana mengangkat kedua alisnya ke atas. "Gue memang sengaja kasih foto itu ke Pak Teguh. Bahkan gue juga udah sebarin foto-foto itu ke seluruh kelas."

"Kenapa lo melakukan itu?" Diana bertanya dengan suara yang meninggi.

Riana mengejutkan Diana dengan pernyataannya yang tajam. "Karena gue nggak suka sama lo, Diana! Gue benci lo!"

Diana terpaku, tidak bisa mempercayai bahwa kata-kata itu terlontar dari mulut teman kecilnya.

"Kenapa? Kaget?" Riana bertanya sambil tertawa dengan sinis. "Nggak usah kaget, gue udah benci lo dari dulu."

Dengan suara rendah, Diana bertanya, "Gue salah apa?"

"Lo masih nanya?" Riana menatap tajam ke arah Diana, mengurangi jarak di antara mereka. "Setelah lo ambil kasih sayang orang tua gue, lo masih bisa nanya salah lo apa?"

"Setelah orang tua lo nggak ada, orang tua gue selalu perhatian sama lo. Gue selalu diacuhkan. Mereka selalu memprioritaskan lo di atas segala-galanya," jelas Riana dengan perasaan yang terluka.

"Lo pikir gue nggak sakit hati?" Riana bertanya dengan mata yang terasa berat. "Gue sakit, Na, gue sakit! Orang tua gue sendiri selalu membanggakan lo di depan gue. Gue tau lo pintar, tapi kenapa harus dibanding-bandingkan sama gue?"

"Dari kecil, lo selalu beruntung di pelajaran. Gue iri. Lo selalu masuk lima besar, sedangkan gue? Sepuluh besar aja gue nggak bisa," kata Riana dengan kesedihan dalam suaranya. "Orang tua gue bangga sama lo, melebihi bangganya mereka sama gue."

"Gue nggak suka lo selalu dapat apa yang lo inginkan. Lo mau kasih sayang dari orang tua gue, lo dapat. Lo mau peringkat lima besar, dapat. Lo mau jadi ketua OSIS, lo dapat juga. Bahkan, lo mau Fiano juga dapat, sialan!" Riana menyentak di akhir katanya, membuat Diana terkejut.

"Gue suka Fiano, Na, gue suka Fiano! Kenapa lo ambil dia dari gue?" Riana mencengkram bahu Diana dengan kuat, membuat gadis itu meringis kesakitan. "Dulu, gue kira setelah gue kenalin dia ke lo, dia bakal tolak lo dan bikin lo sakit hati. Selain itu, gue kira lo bakal nggak fokus belajar karena cowok dan peringkat lo menurun, ternyata gue salah."

Perlahan, Riana menurunkan tangannya dari bahu Diana. "Dari situ gue cari cara lain buat bikin lo hancur. Akhirnya, gue nyebarin foto-foto lo sama Fiano. Karena gue yakin, lo bakal kena kasus. Dan ternyata bener, 'kan?"

Diana terdiam, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Tatapannya yang terluka mengarah kepada Riana, mengungkapkan kekecewaan mendalam. Kecewa karena ternyata teman yang ia anggap saudara sendiri justru menyimpan dendam kepadanya.

"Kenapa lo nggak bilang sama gue? Kita bisa bicara baik-baik, lho," kata Diana.

Riana tertawa miris. "Apa cara itu bisa bikin lo hancur? Nggak, kan?"

Dengan suara yang lemah, Riana melanjutkan, "Gue minta maaf. Tapi gue benar-benar benci sama lo, Diana."

Setelah mengungkapkan perasaannya itu, Riana meninggalkan Diana yang terdiam, berdiri di tempat dengan kelemahan yang melanda. Kakinya seperti kehilangan kekuatan untuk menopang tubuhnya.

"Sesakit itu?" Diana berkata pada dirinya sendiri, menggambarkan kebingungan dan kepedihan dalam hatinya.

Dalam hati, Diana tidak sepenuhnya menyalahkan Riana. Karena kenyataannya, Riana yang juga terluka dalam situasi ini.

✧✧✧✧

"Apakah ada yang ingin menanyakan sesuatu?" tanya Bu Rini, pembina PMR, berdiri tegak di depan ruangan rapat.

Semua peserta rapat menggeleng, menunjukkan bahwa tidak ada yang memiliki pertanyaan.

"Kalau tidak ada, saya serahkan kembali kepada Mbak Diana," ujar Bu Rini sambil memberikan mikrofon kepada Diana.

Diana bangkit dari tempat duduknya dan menerima mikrofon dengan sopan.

"Sebelum saya mengakhiri rapat ini, apakah ada tambahan yang ingin disampaikan oleh para pembina OSIS dan pembina PMR?" tanya Diana, tetapi semua pembina menggelengkan kepala mereka.

"Dalam hal itu, rapat ini saya nyatakan selesai, dan mari kita berdoa sesuai dengan keyakinan masing-masing," perintah Diana.

Setelah selesai berdoa, Diana dengan cermat merapikan kertas-kertas yang berserakan di atas meja tempatnya duduk. Di sebelahnya, Fiano juga sibuk menyusun barang-barangnya dengan hati-hati.

Sambil melirik sekilas ke arah aula yang sudah hampir kosong. Hanya ada beberapa anggota OSIS yang masih bersiap untuk keluar. Setelah selesai dengan aktifitasnya, tanpa mengucapkan sepatah katapun kepada Fiano, Diana melangkah pergi.

Tindakan Diana itu membuat Fiano mengerutkan keningnya dengan kebingungan. Hanya tinggal mereka berdua di ruangan ini. Mengapa Diana masih enggan berbicara dengannya?

"Na?" panggil Fiano dengan suara lirih.

Namun, Diana tidak menoleh. Sebaliknya, ia melaju dengan cepat menuju pintu untuk mendekati seseorang yang menunggu di luar.

"Gue kira siapa," ujar Aldino sambil tersenyum saat Diana tiba di sisinya. "Jadi pulang bareng?" tanya Aldino, sementara Diana mengangguk sebagai jawabannya.

Melihat itu, Fiano semakin mengerutkan keningnya dengan rasa kebingungan yang semakin mendalam. Apa yang sedang terjadi di sini? Apa lagi kesalahannya? Mengapa Diana memutuskan untuk pulang bersama cowok itu?

"Gue salah apa lagi?" gumam Fiano, dengan menatap punggung Diana yang semakin menjauh dari pandangannya.

✧✧✧✧

Diana & Kisahnya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang