DUA PULUH DELAPAN

22 4 8
                                    

Duduk sendiri di ruang OSIS, Diana sibuk memeriksa agenda kegiatan yang akan digelar dalam kemah purna jabatan OSIS dan PMR. Pikirannya tidak tenang saat ini, karena setiap detail perlu diperiksa dengan teliti, mencegah kemungkinan kesalahan yang tidak diinginkan.

Dengan hati-hati, Diana mengamati setiap poin di agenda. Matanya terus meluncur dari baris ke baris, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Namun, kekhawatiran akan teguran yang diberikan pak Teguh masih terus menghantam batinnya.

Dengan rasa frustrasi yang memuncak, Diana merapatkan laptopnya dengan tegas. Ucapan pak Teguh beberapa hari yang lalu terus menghantuinya, terus berputar-putar di benaknya. Kejadian itu telah menanam benih ketakutan dalam dirinya, membuatnya merasa takut bahwa kesalahan kecil saja bisa mengakibatkan dirinya diusir dari organisasi kebanggaannya.

Diana mengecek ponselnya dengan harapan menerima video CCTV dari Dika, tetapi tidak ada notifikasi yang muncul. Saat bertemu, Dika menjelaskan bahwa komputer di ruang PKS sedang rusak, sehingga video belum bisa dikirimkan.

Sementara Diana tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba suatu tangan muncul dan menyodorkan sebuah barang di depan wajahnya. Kejutan itu membuatnya terkejut dan memaksa dia mengangkat kepalanya. Matanya yang sayu bertemu dengan sepasang mata milik Aldino.

"Apa ini?" tanya Diana dengan keheranan sambil menerima barang yang disodorkan oleh Aldino.

Mata Diana melebar ketika melihat beberapa foto yang ditampilkan di depannya. Foto-foto itu menggambarkan dirinya sendiri bersama Fiano.

"Lo dapat darimana?" tanya Diana.

Aldino duduk di depan Diana lalu menjawab, "Gue dapat ini dari adik kelas. Pas gue lagi jalan ke kelas, tiba-tiba gue ketemu mereka yang lagi bergerombol lihat foto ini."

Diana menghembuskan napas pelan, mencoba menenangkan dirinya. "Mereka dapat darimana?"

Aldino menggelengkan kepala dengan raut wajah bingung. "Gue nggak tahu persis. Mereka bilang foto-foto itu ditemukan berserakan di depan kelas mereka."

Diana merasa hatinya berdesir. Dia meremas lima foto yang dipegangnya dengan erat, membiarkan emosinya mengalir dalam setiap tekanan jari-jarinya.

"Ada yang nggak suka sama lo," kata Aldino tiba-tiba, membuat Diana menatapnya. "Gue yakin, ada yang pengen merusak reputasi lo," lanjutnya.

"Tapi gue nggak punya musuh."

Aldino menggelengkan kepalanya, menatap Diana dengan serius. "Orang yang benci lo nggak selalu harus jadi musuh. Mereka bisa datang dari orang-orang terdekat, bahkan teman dekat lo."

Kata-kata Aldino menggetarkan hati Diana. Dia mulai merenung dan mempertimbangkan kemungkinan tersebut. Siapa di antara orang-orang terdekatnya yang mungkin memiliki rasa tidak suka padanya?

✧✧✧✧

Diana melangkah dengan mantap menuju parkiran sekolah, hatinya masih terasa berat. Saat melihat Fiano berdiri di kantin yang terletak cukup dekat dengan parkiran, Diana merasa ada tanggung jawab yang harus segera diselesaikan.

Dengan langkah pasti, Diana mendekati Fiano. Tas abu-abunya tergantung di bahunya saat ia mengulurkan tangan dengan buku merah di tangannya.

"Buku lo kebawa gue," ucap Diana

Diana tidak sengaja membawa buku Fiano setelah belajar di rumahnya. Tertumpuk dengan buku-buku lain, Diana tidak menyadari bahwa buku merah itu adalah milik Fiano. Baru pagi ini, saat Diana memeriksa isinya, dia baru menyadari bahwa buku itu sebenarnya bukan miliknya.

"Itu buku memang buat lo," ujar Fiano dengan senyum tipis di wajahnya. "Gue udah rangkum materi jurusan dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas yang sering keluar di tes. Lo bisa gunain itu buat patokan belajar."

Diana terpana sejenak oleh kebaikan dan perhatian Fiano, namun cepat-cepat ia menepis pemikirannya. Ia tidak boleh terlalu mudah luluh lagi. Rasa kekhawatiran dan ketidakpercayaan yang pernah menyelimuti hatinya masih terasa di sana.

"Nggak perlu," ujar Diana sambil mengambil tangan Fiano untuk menerima buku yang ditawarkan.

Fiano merasa kebingungan. Ia tidak mengerti mengapa Diana menolak dengan sikap seperti itu. "Seenggaknya lo bisa hargai usaha gue, Diana. Apa susahnya?"

Diana berdecih, "Memangnya lo bisa hargai gue?"

"Lo kenapa sekarang pengen ribut terus sama gue?" tanya Fiano dengan mencekal tangan Diana.

Diana menatap Fiano dengan tajam. "Nggak ada yang pengen ribut sama lo. Lo aja yang emosian," jawab Diana

Diana berusaha melepaskan tangannya yang digenggam oleh Fiano, tetapi Fiano menahannya dengan cekalan yang kuat.

"Gue memang emosian, tapi gue nggak bisa emosi sama cewek," kata Fiano dengan raut wajah penuh penyesalan. "Gue minta maaf, kalau memang ucapan gue pernah sakiti lo."

Diana tersenyum simpul, tetapi tetap mempertahankan sikap tegarnya. "Dengan lo minta maaf, gue nggak bakal kejar-kejar lo lagi, Fiano."

Fiano melepaskan genggaman tangannya dan keningnya mengkerut. Ia mencoba memahami sikap Diana yang sudah berubah.

"Kenapa? Lo benar-benar mau lupain gue?" tanya Fiano dengan wajah penuh ketidakpercayaan.

"Itu yang lo mau, kan?" Diana menatap Fiano tajam. "Lo memang orang yang nggak pernah ingat sama ucapan lo sendiri, ya? Pantas aja, kalau punya janji selalu lupa."

Ucapan Diana membuat Fiano terdiam. Dia menyadari bahwa Diana benar, dia sering kali melupakan janji-janjinya sendiri.

"Lo di sini tinggal tiga bulan lagi, kan? Setelah itu, kita pisah. Jadi, ayo jalani kehidupan kita masing-masing?" ujar Diana dengan tegas.

Fiano menggelengkan kepalanya. "Setelah lo usik kehidupan gue, lo pikir semudah itu gue lupain lo?"

Diana merasa frustasi dan pandangannya penuh dengan rasa kesal kepada Fiano.

"No! Gue udah mau damai dengan cara menjauh dari kehidupan lo! Kenapa sikap lo malah berubah lagi?" Diana memandang Fiano dengan sorot mata yang tajam. "Lo benar-benar mau mainin perasaan gue?"

Fiano terkejut. "Gue nggak bermaksud begitu, Diana. Gue—"

"Apa? Lo belum puas kasih harapan ke gue?" potong Diana dengan suara tajam. "Gue udah kemakan sikap sok baik lo. Mau lo apa lagi?"

Diana menggenggam tangannya dengan kuat, mencoba menahan amarah dan kekecewaan yang berkobar di dalam dirinya. Kepercayaannya telah diguncang oleh sikap Fiano yang terus berubah-ubah.

Fiano merasa terpukul oleh kata-kata Diana. Ia menyadari betapa perasaan Diana telah terluka oleh tindakannya yang ambigu. Dia mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan.

Fiano berkata dengan jujur, "Na, gue nggak pernah ada niatan sakiti lo. Gue tau gue salah, gue minta maaf."

Diana merasa lelah, pikirannya penuh dengan kebingungan. "Udah, lah, No. Otak gue capek disuruh mikir masalah terus. Setelah ini, gue janji nggak bakal ganggu kehidupan lo lagi. Lo juga janji, jangan ganggu kehidupan gue, ya?" Diana menatap Fiano dengan ekspresi serius.

Fiano terdiam. Ia ingin menolak, namun Fiano tidak bisa melakukannya. Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya ia mengangguk menyerah.

"Kalau itu yang lo mau, ayo selesai dengan cara baik-baik?"

Diana terdiam, merenung dalam ketidakpastian. Apakah dengan begitu, semuanya akan berakhir? Dirinya bahkan belum sempat memiliki Fiano, jadi apa yang akan selesai?

✧✧✧✧

Diana & Kisahnya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang